Bendera GAM, PBB, sampai Bendera Putih Berkibar di Aceh

Jumat, 19 Desember 2025, 02:40 WIB
Bendera GAM, PBB, sampai Bendera Putih Berkibar di Aceh
Koalisi Masyarakat Sipil mengibarkan bendera putih saat menggelar aksi damai di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. (Foto: RMOLAceh/Helena Sari)
TULISAN ini agak panjang. Yang tak suka membaca, sebaiknya skip saja. Ini lanjutan kisah bencana tanda tangan di tanah Sumatera. 

Makin ke sini, bukan sekadar angka korban yang terus berjatuhan, melainkan ada kisah lain. Bendera GAM, PBB, sampai bendera putih banyak berkibar di sana.

Aceh, Desember 2025, terasa seperti lukisan raksasa yang dikerjakan alam dengan kuas banjir dan tinta longsor, lalu dipamerkan di depan Masjid Raya Baiturrahman. 

Kubah hitam-putih itu berdiri seperti penonton VIP yang sudah terlalu sering menyaksikan tragedi, dari tsunami 2004 sampai air bah yang kini datang lagi. 

Kali ini sambil membawa bonus drama politik dan festival bendera. Jika Aceh adalah secangkir kopi Gayo, maka Desember ini rasanya pahit, kental, dan diminum tanpa gula, langsung ke ulu hati.

Air bah turun dari Seulawah Agam seperti kisah lama yang diulang dengan volume lebih keras. Sungai meluap, tanah longsor, Rumoh Aceh hanyut seperti perahu kertas. 

Di tengah lumpur yang lengketnya setara janji kampanye, bendera Bulan Bintang GAM berkibar di Aceh Tamiang dan Lhokseumawe. 

Milad ke-49 GAM dirayakan dengan konvoi, persis ketika warga lain sedang menghitung berapa tikar yang masih kering. Pemandangannya epik sekaligus absurd, rencong sejarah diangkat tinggi, sementara air setinggi pinggang sedang menguji keseimbangan kaki. 

Ini bukan kejadian mendadak. Sejak 4 Desember 2025, peringatan sudah digelar. Alam datang belakangan, tapi masuknya langsung sebagai pemeran utama.

Publik Aceh terbelah seperti jalan nasional yang tergerus longsor. Ada yang bilang ini identitas, hak sejarah, semangat yang tak boleh padam. 

Ada pula yang nyengir getir, sambil menyeruput kopi Gayo di pengungsian, bertanya apakah air bah harus menghormati kalender milad sebelum menenggelamkan dapur. 

Di sela itu, muncul simbol yang lebih sunyi namun lebih menusuk, bendera putih. Berkibar di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara. Ia bukan tarian Saman yang kompak, tapi satu gerakan sederhana, angkat tangan.

Lalu Aceh menaikkan level. Dari lokal ke global. Di antara bendera putih dan Bulan Bintang, muncul kain biru PBB. Berkibar di Aceh Tamiang, Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, hingga Bireuen. 

Ini seperti warga berkata, “Kalau kopi tak cukup, kami pesan espresso dunia.” Pemerintah Aceh mengirim surat resmi pada 14 Desember 2025 ke UNDP dan UNICEF, meminta bantuan untuk 18 kabupaten/kota. Diplomasi simbolik dilakukan tanpa podium, tanpa AC, cukup bambu dan kain.

PBB menjawab dengan bahasa paling rapi sedunia. UNIC Indonesia mengonfirmasi surat diterima. UNDP dan UNICEF sedang mengkaji. Belum ada bantuan konkret, tapi proses berjalan. 

Di sisi lain, muncul adegan komedi gelap, Gubernur Aceh Muzakir Manaf sempat mengaku tidak tahu detail surat. Publik terdiam seperti jamaah yang lupa rakaat. Juru bicara bilang surat ada. PBB bilang surat ada. Yang sempat menghilang hanya koordinasi, tersapu arus komunikasi internal.

Pemerintah pusat mengeluarkan jurus rencong retorika. Mendagri Tito Karnavian akan mempelajari surat. Presiden Prabowo Subianto menegaskan Indonesia mampu dan menolak bantuan asing. Kalimatnya tegas, seperti mimbar Jumat. 

Sayangnya, alam menjawab dengan angka. Hingga 18 Desember 2025, BNPB mencatat 1.059 orang meninggal dunia, 192 masih hilang, lebih dari 7.000 luka-luka. 

Sebanyak 52 kabupaten/kota di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terdampak. Rumah rusak 147.236 unit. Fasilitas publik rusak 1.600 unit. Statistik itu jatuh seperti hujan deras di halaman masjid: dingin, nyata, dan tak bisa dibantah.

Mensos Saifullah Yusuf alias Gus Ipul datang membawa payung optimisme. Bendera putih, katanya, simbol keputusasaan, tapi pemerintah masih mampu. “Kita bisa atasi ya, Pak Mualem.” Kalimat itu terdengar seperti azan subuh, mengajak bangun dan percaya. 

Pemerintah daerah disebut bekerja keras, pusat hadir penuh. Warga diminta yakin. Masalahnya, di posko pengungsian, keyakinan tidak bisa menggantikan air bersih, dan optimisme tidak bisa menambal jembatan yang putus.

Aceh kini berbicara dengan banyak metafora sekaligus. Bendera GAM sebagai rencong sejarah. Bendera putih sebagai doa pendek. Bendera PBB sebagai surat terbuka ke dunia. 

Negara menjawab dengan pidato, alam membalas dengan longsor. Dari data 6 Desember yang mencatat 914 meninggal, naik ke 995, lalu 1.016, hingga 1.059 jiwa pada 18 Desember, grafiknya menanjak seperti bukit yang siap runtuh.

Jika Masjid Raya Baiturrahman bisa berbicara, mungkin ia hanya menghela napas. Aceh sudah berkali-kali diuji, dan selalu bangkit. Tapi kali ini, kebangkitan itu harus berenang melewati lumpur simbol, ego, dan prosedur. 

Di antara semua bendera yang berkibar anggun di angin basah, yang paling jujur tetap bendera putih, pengakuan polos bahwa di hadapan alam yang murka, manusia, sekeras apa pun rencongnya, tetap rapuh. 

Dan dari secangkir kopi Gayo yang pahit itu, Aceh kembali meneguk kenyataan, sambil berharap dunia benar-benar mendengar, bukan sekadar mengkaji.rmol news logo article

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA