"Tingginya intensitas bencana ekologis yang makin meningkat di berbagai wilayah Indonesia, diperlukan payung hukum untuk memperkuat legitimasi pemerintah mengendalikan dan memitigasi kebencanaan ekologis yang bersumber dari berbagai aspek, termasuk kerakusan para rente mengeruk kekayaan alam Nasional kita," kata Zulhamdi dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi di Jakarta, Selasa, 30 Desember 2025.
Zulhamdi yang juga Founder Green Diplomacy Network (GDN) menilai, kondisi iklim nasional telah masuk kategori kritis. Menurutnya, banjir, longsor, karhutla, hingga kerusakan ekosistem yang berulang menjadi sinyal kuat perlunya payung hukum yang lebih tegas dan futuristik.
“RUU Perubahan Iklim harus segera disahkan. Kita tidak punya banyak waktu. Banyak kebijakan tata kelola sumber daya alam belum berpihak pada keberlanjutan sehingga bencana berulang dan masyarakat menjadi korban,” ujar Zulhamdi.
Ia menilai, RUU Perubahan Iklim tidak hanya berfungsi sebagai regulasi normatif, tetapi juga sebagai instrumen hukum penting untuk memastikan tata kelola lingkungan yang lebih adil dan bertanggung jawab. Dengan regulasi tersebut, pelanggaran lingkungan dapat ditindak secara tegas dan terukur.
“RUU ini akan menjadi payung hukum utama. Jika ada pihak yang sengaja merusak lingkungan hingga menimbulkan bencana ekologis, negara memiliki dasar legal yang jelas untuk bertindak. Jangan sampai kerusakan terus terjadi karena regulasinya tak kunjung disahkan,” jelas dia.
Zulhamdi menambahkan, Indonesia sebagai negara dengan potensi biodiversitas besar memiliki tanggung jawab moral sekaligus politik untuk memimpin agenda perubahan iklim baik di tingkat nasional maupun global. Karena itu, ia meminta DPR dan pemerintah menempatkan RUU Perubahan Iklim sebagai prioritas Prolegnas 2025.
“Krisis iklim bukan isu pinggiran. Ini menyangkut keselamatan rakyat dan masa depan generasi bangsa. Kami berharap DPR dan Presiden Prabowo segera membahasnya tanpa menunda," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: