Dalam evaluasi bertajuk “Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran di Bidang Pertahanan”, Imparsial menyoroti kecenderungan meningkatnya peran militer dalam ranah sipil serta lemahnya komitmen terhadap agenda reformasi sektor keamanan.
Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, mengatakan bahwa selama satu tahun terakhir, pemerintah justru memperlihatkan gejala rekonsolidasi militerisme yang mengancam prinsip supremasi sipil.
“Alih-alih memperkuat reformasi TNI dan akuntabilitas sektor pertahanan, kebijakan yang diambil justru memperluas peran militer dalam berbagai urusan sipil,” ujar Hussein melalui keterangan tertulis, Minggu 19 Oktober 2025.
Menurut Hussein, kecenderungan tersebut tampak dari beberapa kebijakan, di antaranya pelibatan TNI dalam proyek-proyek non-pertahanan seperti program Food Estate dan Makan Bergizi Gratis (MBG).
"Pelibatan TNI dalam kegiatan yang tidak termasuk dalam operasi militer selain perang (OMSP) dinilai berpotensi menggeser fungsi utama militer sebagai alat pertahanan negara," tuturnya.
Selain itu, Peneliti Imparsial Riyadh Putuhena juga menyoroti pengangkatan sejumlah perwira aktif ke jabatan sipil seperti Sekretaris Kabinet dan Direktur Utama Perum Bulog.
Menurutnya, hal tersebut tidak sejalan dengan UU 34/2004 tentang TNI yang mengatur bahwa prajurit aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil sebelum pensiun.
“Penempatan perwira aktif di posisi sipil mencederai semangat reformasi TNI dan prinsip supremasi hukum,” katanya.
Di sisi lain, pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) melalui Perpres Nomor 202 Tahun 2024 juga menjadi sorotan. Imparsial menilai kewenangan DPN yang sangat luas, termasuk klausul “fungsi lain yang diberikan Presiden”, berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan memperlemah kontrol demokratis dalam kebijakan pertahanan.
“Kita khawatir lembaga ini justru menjadi superbody yang tidak akuntabel,” ujarnya.
Dia turut mengkritisi rencana pembentukan 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) di bawah Kodim, yang dinilai berpotensi memperkuat struktur komando teritorial warisan masa Orde Baru.
“Rencana ini berlawanan dengan semangat reformasi yang seharusnya mengurangi peran militer di ranah sipil dan politik,” jelasnya.
Dalam catatannya, Riyadh juga menyoroti belum terselesaikannya reformasi peradilan militer. Lembaga ini menilai masih banyak kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI disidangkan di peradilan militer dengan hukuman ringan.
“Selama prajurit yang melakukan pelanggaran terhadap warga sipil tetap diadili di peradilan militer, rasa keadilan publik sulit terpenuhi,” tuturnya.
Dia menegaskan pentingnya pemerintah dan parlemen memperkuat prinsip supremasi sipil serta memastikan agenda reformasi sektor pertahanan berjalan sesuai amanat konstitusi.
“Tahun pertama ini seharusnya menjadi momentum memperbaiki tata kelola pertahanan yang transparan, profesional, dan akuntabel,” tandasnya.
BERITA TERKAIT: