Begitu dikatakan Koordinator Peneliti Imparsial Annisa Yudha dalam diskusi "Urgensi Reformasi Peradilan Militer, Ketidakadilan Peradilan Militer dari Medan hingga Papua" di Waroeng Sadjo, Tebet, Jakarta Selatan, pada Kamis 30 Oktober 2025.
Dia menyoroti beberapa kasus yang ditangani pada peradilan militer bahwa persidangan terhadap anggota TNI sering tertutup.
"Dengan tidak menjunjung prinsip persidangan yang adil, dan mengabaikan hak serta perlindungan korban," kata Annisa.
Annisa menegaskan bahwa reformasi peradilan militer merupakan langkah mendesak untuk mengakhiri impunitas dan memperkuat supremasi sipil.
Menurutnya, dualisme sistem peradilan antara sipil dan militer masih membuka ruang impunitas, karena anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum tetap diadili di peradilan militer.
"Kami mencatat sedikitnya enam kasus kekerasan dan impunitas pada 2025, termasuk kematian Prada Lucky, yang menunjukkan pola vonis ringan," katanya.
Ia juga mendorong revisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer dengan membatasi yurisdiksi peradilan militer hanya pada pelanggaran militer, mengalihkan penyidikan dan penuntutan ke Polri dan Kejaksaan.
"Langkah ini membuka proses hukum diakses publik, dan memperkuat pengawasan sipil," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: