Menurut Fahira Idris, sikap ini lahir dari nurani kolektif masyarakat yang menolak ketidakadilan, dari komitmen konstitusional yang menentang penjajahan, serta dari kepekaan kemanusiaan terhadap genosida di Gaza.
“Desakan dari berbagai elemen masyarakat untuk menolak kehadiran atlet Israel adalah bentuk moral sanction terhadap negara yang terus menerus melakukan genosida terhadap rakyat Palestina, bahkan di tengah gelombang besar kecaman dunia,” ujar Fahira dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Kamis malam, 9 Oktober 2025.
Senator Jakarta ini mengungkapkan, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, sehingga tidak memiliki kewajiban hukum untuk mengizinkan kedatangan delegasi resmi dari negara tersebut.
Sebaliknya, kata dia, penolakan ini justru mempertegas konsistensi politik luar negeri Indonesia yang sejak awal kemerdekaan berpihak pada kemerdekaan Palestina dan menentang segala bentuk penjajahan, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Fahira Idris menilai bahwa suasana kebatinan masyarakat Indonesia saat ini sangat terikat secara emosional dan spiritual dengan penderitaan rakyat Palestina. Kehadiran atlet Israel di tengah situasi tersebut akan melukai perasaan publik dan menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.
Selain itu, dari sisi etis dan hukum internasional, sikap penolakan terhadap partisipasi Israel memiliki legitimasi kuat. Saat ini, Mahkamah Internasional (ICJ) tengah menyelidiki dugaan kejahatan genosida yang dilakukan Israel di Gaza. Berbagai lembaga hak asasi manusia dunia seperti Amnesty International dan Human Rights Watch menilai Israel telah melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan hukum perang.
Fahira Idris juga mengingatkan bahwa dalam sejarah dunia, pengucilan dan boikot sering menjadi instrumen efektif dalam menentang rezim penindas. Ia mencontohkan bagaimana Afrika Selatan pada masa apartheid dijatuhi sanksi moral dan sosial melalui larangan tampil di berbagai ajang olahraga internasional hingga akhirnya sistem apartheid runtuh.
Boikot, lanjutnya, bukan tindakan ekstrem, tetapi adalah cara damai untuk menyatakan bahwa kemanusiaan tidak bisa dinegosiasikan. Penolakan terhadap atlet Israel dapat dipandang sebagai soft power diplomasi moral, ketika tekanan diplomatik formal tidak cukup menghentikan kejahatan kemanusiaan.
“Amanat konstitusi kita sudah jelas, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Karena itu, segala bentuk normalisasi terhadap negara penjajah, termasuk lewat olahraga, bertentangan dengan jati diri bangsa,” tandasnya.
BERITA TERKAIT: