Begitu dikatakan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Paramadina Ariyo Irhamna. Dia mengapresiasi penerapan sistem deteksi anomali transaksi yang mampu mencegah potensi kerugian lebih besar.
“Menurut saya, sistem ini membuat bank tidak hanya reaktif setelah terjadi fraud, tetapi juga antisipatif, karena dapat mengidentifikasi potensi fraud sebelum benar-benar merugikan nasabah,” ujar Ariyo kepada wartawan di Jakarta, Selasa 30 September 2025.
Ekonom INDEF itu menambahkan, penerapan sistem pengawasan semacam ini dapat menjaga reputasi perbankan sekaligus melindungi nasabah.
“Dengan adanya sistem ini tentu bisa mengurangi kerugian, melindungi nasabah, dan menjaga reputasi bank,” jelasnya.
Dia juga menekankan sistem proteksi di sektor perbankan perlu terus diperkuat, mengingat modus-modus kejahatan finansial semakin berkembang.
“Sistem ini memang bukan jaminan 100 persen. Harus dilengkapi dengan kapasitas serta kesigapan pegawai, dan sistemnya perlu terus diperbarui mengikuti perkembangan modus kejahatan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Bareskrim Polri telah mengungkap kasus dugaan pembobolan rekening dengan nilai mencapai Rp204 miliar di sebuah bank pelat merah.
Rekening tersebut diketahui milik seorang pengusaha tanah berinisial S dan disalahgunakan sindikat dengan cara memindahkan dana ke lima rekening penampungan melalui 42 kali transfer hanya dalam waktu 17 menit.
Aksi itu dilakukan pada malam hari, sekitar pukul 18.00 WIB dengan tujuan memanfaatkan celah akhir pekan untuk menghindari pemantauan sistem bank.
Namun, berkat deteksi dini perbankan, aliran dana berhasil diblokir dan kasus segera dilaporkan ke pihak Kepolisian.
Hingga kini, Bareskrim telah menetapkan sembilan tersangka yang terbagi ke dalam tiga kluster, yakni karyawan bank, eksekutor pembobolan, serta pihak yang terlibat pencucian uang.
Aparat juga tengah memburu satu orang berinisial D yang diduga memberikan informasi rekening tersebut kepada sindikat.
BERITA TERKAIT: