Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, merespons permohonan Peninjauan Kembali (PK) kedua yang diajukan Djoko terkait dugaan korupsi pengadaan simulator Surat Izin Mengemudi (SIM).
"Patut diduga sumber penghasilan berasal dari gratifikasi," kata Alex kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (27/5).
Alex lantas menyinggung adanya kesamaan antara Djoko dengan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun Trisambodo (RAT), maupun perkara terkait pejabat Bea Cukai lainnya.
"Belajar dari penanganan perkara-perkara RAT, dan pejabat Bea Cukai yang hartanya tidak sebanding dengan penghasilan yang sah, mestinya KPK bisa kembali melakukan penyelidikan dugaan korupsi menerima gratifikasi terhadap yang bersangkutan dan menyita aset-aset yang dibeli dan diatasnamakan orang lain," jelas Alex.
Terkait PK yang kembali diajukan Djoko ke Mahkamah Agung (MA), KPK tetap meyakini bahwa Djoko terbukti melakukan korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Dalam persidangan terungkap banyak aset yang bersangkutan disamarkan dan diatasnamakan orang lain. Yang bersangkutan juga tidak bisa membuktikan sumber penghasilan yang sah untuk membeli aset-aset tersebut. Termasuk aset-aset yang dalam putusan PK diminta untuk dikembalikan kepada yang bersangkutan," pungkas Alex.
Penelusuran
Kantor Berita Politik RMOL di Kepaniteraan MA pada Senin (27/5), permohonan PK yang diajukan Djoko Susilo teregister dengan nomor perkara 756 PK/Pid.Sus/2024 dengan status dalam proses pemeriksaan Majelis.
Permohonan PK itu telah masuk ke Kepaniteraan MA pada Selasa (30/4) dan telah terdistribusi pada Senin (20/5).
Adapun susunan Majelisnya adalah Suharto sebagai Ketua Majelis, Ansori sebagai Anggota Majelis 1, Sinintha Yuliansih Sibarani sebagai Anggota Majelis 2, Supriyadi sebagai Anggota Majelis 3, Prim Haryadi sebagai Anggota Majelis 4, dan Bayuardi sebagai Panitera Pengganti.
Dalam perkaranya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat telah memvonis Djoko dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan pada September 2013 lalu. Majelis Hakim juga memutuskan puluhan aset Djoko dirampas untuk negara. Akan tetapi, Majelis Hakim tidak mencabut hak memilih dan dipilih Djoko.
Selain korupsi pengadaan simulator SIM, Djoko juga dianggap terbukti melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk periode 2003-2010 dan 2010-2012.
Tak puas dengan vonis di Pengadilan Tipikor, KPK meminta banding. Majelis banding menghukum Djoko dengan pidana penjara selama 18 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Djoko juga dijatuhi pidana tambahan berupa denda sebesar Rp32 miliar subsider 5 tahun penjara dan perampasan aset. Hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik juga dicabut.
Tidak terima dengan vonis PT DKI Jakarta tersebut, Djoko selanjutnya mengajukan Kasasi ke MA pada 2014 lalu. Namun, permohonan Kasasi tersebut ditolak. MA bahkan menguatkan hukuman yang dijatuhkan PT DKI Jakarta.
Djoko kemudian mengajukan PK ke MA. Saat itu, MA mengabulkan sebagian permohonan Djoko. Dalam putusan PK itu, Hakim menyatakan kelebihan hasil lelang dan barang bukti yang belum dilelang harus dikembalikan kepada Djoko.
Bahkan, MA mengirim surat dengan nomor 34/WK.MA.Y/VI/2019 kepada pimpinan KPK pada 19 Juni 2019 perihal pembahasan permohonan fatwa atas uang pengganti perkara Djoko.
Dalam surat itu, MA menyebutkan bahwa harta benda Djoko yang telah disita dan dilelang dirampas untuk negara. Namun, setelah dilelang nilainya melebihi uang pengganti sebesar Rp32 miliar. MA juga merevisi pencabutan hak politik Djoko menjadi 5 tahun setelah keluar dari penjara.
BERITA TERKAIT: