Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang (Unpam), Efriza berpendapat, May Day hanya menjadi ajang unjuk rasa kelompok buruh, yang seolah-olah ada kebersamaan.
"Momentum peringatan Hari Buruh hanya seperti sebuah simbol peringatan atau euforia saja, tetapi tanpa mengevaluasi apa yang menyebabkan nilai perjuangan buruh tidak pernah dirasakan perkembangannya yang drastis," ujar Efriza kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (1/5).
"Dan yang paling penting, dirasakan berdampak terhadap penghidupan dan kesejahteraan bagi keseluruhan buruh-buruh di Indonesia," sambungnya menegaskan.
Menurutnya, hasil dari sebuah gerakan kelompok buruh adalah sesuatu yang seharusnya diperjuangkan bukan hanya di setiap perayaan May Day.
"Kesadaran ini diyakini ada, tapi tidak dijadikan prioritas, juga tolok ukur keberhasilan perjuangan buruh," tuturnya.
Salah satu penyebab dari kesejahteraan terhadap buruh tidak kunjung terwujud, adalah karena elite-elite kelompok buruh tidak solid, dan lebih mengutamakan kepentingan pribadinya.
Karena itu dia memandang perlu digarisbawahi oleh seluruh kelompok buruh terkait kesolidan perjuangan kesejahteraan, supaya tidak terjadi kemandekan dalam implementasinya di kemudian hari.
"Tampaknya ini juga tidak dijadikan kerangka acuan maupun dijadikan dasar yang dapat menyatakan perjuangan buruh dianggap telah berhasil. Sehingga yang tampak adalah seperti momentum maupun peringatan Hari Buruh sekadar euforia tanpa melakukan refleksi," demikian Efriza.
BERITA TERKAIT: