Kegiatan yang digelar Forum 2045 tersebut menghadirkan sejumlah guru besar dan akademisi dari sejumlah kampus. Acara itu digelar di University Club (UC) Universitas Gadjah Mada (UGM), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (16/3).
Ketua Forum 2045 Untoro Hariadi menjelaskan, para profesor dan pendidik merasa perlu menyodorkan rumusan alternatif mengenai kepemimpinan Indonesia agar di masa mendatang, bangsa ini tidak terjerembab dalam kesalahan yang sama.
"Kita ingin memasukkan pertimbangan kualitatif agar suksesi kepemimpinan Indonesia di masa depan tidak semata-mata ditentukan oleh angka-angka elektoral, tetapi dalam proses rekrutmen sudah memasukan aspek-aspek kapasitas, integritas, dan kredibilitas," ujar Untoro dalam keterangan tertulisnya.
Dalam forum itu hadir sebagai pembicara Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said; Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Dr. Armaidy Armawi; Guru Besar Geografi UGM, Prof. Dr. M. Baiquni; Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Prof. Dr. Ni’matul Huda; dan Guru Besar Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Dr. Heru Kurnianto Tjahjono.
Dalam pemaparannya, Sudirman Said menyebutkan gagasan mendasar kepemimpinan yang diperlukan Indonesia. Yaitu, kepemimpinan merupakan perilaku yang dibentuk oleh kompetensi, karakter dan nilai-nilai yang memandu tumbuh kembang pribadi individu.
"Apakah seorang pejabat publik merupakan pemimpin atau bukan, tentu tergantung perilaku dalam menjalankan tugas-tugasnya," kata Sudirman.
Menurutnya, situasi sosial politik yang berkembang saat ini kurang mendukung bagi pengembangan kepemimpinan yang ideal, karena menguatnya politik dinasti dan keberpihakan kekuasaan dalam proses elektoral, pelanggaran etika publik, dan rekayasa hukum secara terang-terangan.
"Hingga maraknya praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), turut mewarnai karakter kepemimpinan nasional. Karena itu, kita memerlukan sebuah Undang-Undang yang mengatur rekrutmen kepemimpinan publik agar memasukkan pula syarat-syarat kualitatif," urai Sudirman.
"Proses seleksi kepemimpinan nasional tidak bisa hanya ditentukan angka-angka, sehingga menyebabkan demokrasi kehilangan ruh substansial," sambungnya menegaskan.
Senada dengan Sudirman, pembicara Heru Kurnianto Tjahjono menggarisbawahi perlunya Indonesia menemukan sosok pemimpin negarawan yang otentik dimana keberadaannya selalu berorientasi pada kontribusi bagi kepentingan masyarakat luas.
"Pemimpin negarawan adalah sosok yang secara mental sudah selesai dengan dirinya dan keluarganya," tegas pakar manajemen SDM itu.
Ditambahkan srikandi hukum Prof. Ni’matul Huda, tumbuh kembang kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan diri dan keluarga, kini nampak menggunakan sumberdaya negara dan menjadi ironi yang mengecewakan publik.
"Kepemimpinan semacam tersebut jauh dari semangat pendirian bangsa dan negara Indonesia," bebernya.
Di samping itu, Prof. Armaidy Armawi yang juga menjadi pembicara mewanti-wanti tentang pentingnya pemahaman ideologi dan konstitusi, sebagai dasar spiritualitas dan moralitas kepemimpinan nasional.
"Ideologi dan konstitusi merupakan panduan dasar dalam menghadapi berbagai tantangan geopolitik saat ini," tuturnya.
Pembicara lainnya, Prof. Dr. M. Baiquni, menyebutkan salah satu tantangan kepemimpinan nasional yang perlu mendapatkan perhatian serius saat ini, yakni semakin merebaknya krisis lingkungan dan perubahan iklim global.
"Krisis iklim menuntut kehadiran pemimpin yang mampu menggerakkan segenap komponen masyarakat dalam upaya pencerdasan publik melalui pelestarian alam di berbagi tingkatan," ujar Sekretaris Dewan Guru Besar UGM itu.
Kegiatan yang dihadiri ratusan peserta yang memadati Ballroom UC UGM dan ruang zoom tersebut mendapatkan apresiasi dari Prof. Koentjoro, guru besar Psikologi UGM yang merupakan salah satu inisiator aksi ’Petisi Bulaksumur’ dan gerakan ’Kampus Memanggil’.
Menurut Koentjoro, peranan akademisi dalam percaturan politik dalam negeri sangat diperlukan, terutama untuk mengingatkan tujuan dari kekuasaan dalam pemerintahan.
"Semestinya suara-suara para akademisi dan guru besar tidak hanya dipahami sebagai hak demokrasi tetapi juga dipahami isi substansinya. Jika kekuasaan abai dengan suara-suara kritis, keinginan untuk melihat tahun 2045 sebagai Indonesia Emas bisa berganti dengan melihat 2045 Indonesia Cemas," demikian Koentjoro menambahkan.
BERITA TERKAIT: