Selama puluhan tahun, arah pembangunan ekonomi nasional terlalu sering dibingkai oleh asumsi bahwa kemajuan hanya bisa diraih jika Indonesia masuk dan diterima dalam rantai nilai global, menjadi bagian dari pasokan industri negara maju, lalu berharap kesejahteraan menetes ke dalam negeri.
Pola pikir ini melahirkan ketergantungan struktural, melemahkan basis produksi nasional, dan menempatkan Indonesia lebih sebagai konsumen daripada produsen yang berdaulat.
Jika dunia internasional memandang Indonesia sebagai pasar besar, maka logika pembangunan yang sehat justru bukan membuka keran impor selebar-lebarnya, melainkan membangun kemampuan nasional untuk mengisi pasar tersebut dengan produk buatan sendiri.
Pasar nasional Indonesia yang sangat besar, dengan kebutuhan rutin lintas sektor dan daya serap yang stabil, merupakan modal strategis yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Industrialisasi berbasis pasar nasional berarti menjadikan kebutuhan domestik sebagai jangkar utama pertumbuhan industri, bukan sebagai pelengkap dari orientasi ekspor atau hilirisasi yang semata-mata ditujukan untuk memasok industri negara lain.
Pendekatan ini bukanlah penolakan terhadap perdagangan global atau keterhubungan internasional, melainkan penataan ulang prioritas pembangunan. Indonesia tetap bagian dari sistem ekonomi dunia, namun tidak lagi menjadikan pasar internasional sebagai penentu arah industrialisasi tahap awal.
Fokus utama haruslah memperkuat struktur produksi dalam negeri, membangun skala ekonomi nasional, dan memastikan bahwa pasar domestik menjadi ruang pembelajaran, pengujian, dan pematangan industri nasional sebelum melangkah lebih jauh ke pasar global.
Dalam konteks ini, Indonesia tidak perlu terjebak pada proteksi berlebihan yang sering kali melahirkan inefisiensi, rente, dan beban bagi konsumen. Yang dibutuhkan adalah penegakan perdagangan yang adil, terutama pencegahan dumping dan praktik tidak sehat yang merusak industri domestik. Selebihnya, kekuatan industri nasional harus dibangun melalui efisiensi biaya, inovasi, peningkatan produktivitas, dan disiplin kualitas.
Kampanye mencintai produk nasional penting dan wajib digencarkan, namun harus berjalan seiring dengan kewajiban industri nasional untuk menghasilkan produk yang layak, terjangkau, dan terus meningkat mutunya sesuai daya beli masyarakat. Nasionalisme ekonomi tidak boleh menjadi pembenaran bagi produk yang tidak efisien atau tidak kompetitif.
Agenda industrialisasi dan hilirisasi nasional yang saat ini berjalan sejatinya menunjukkan arah yang benar, namun masih dilaksanakan secara sektoral dan terfragmentasi. Tanpa orkestrasi lintas sektor dan roadmap nasional yang jelas berbasis tujuan pasar, industrialisasi berisiko kehilangan arah strategis menuju Indonesia Emas.
Keberhasilan proyek atau sektor tertentu belum otomatis membentuk transformasi ekonomi nasional yang saling terhubung dan saling menguatkan. Indonesia Emas menuntut integrasi industri, penyatuan visi pasar, serta desain pembangunan ekonomi yang bergerak sebagai satu sistem nasional, bukan kumpulan inisiatif yang berdiri sendiri.
Karena itu, industrialisasi berbasis pasar nasional harus mencakup sektor-sektor strategis yang menyentuh seluruh sendi kehidupan bangsa. Industri otomotif, penerbangan, perkeretaapian, kapal laut, logistik, elektronik, konstruksi, dan infrastruktur bukan sekadar sektor ekonomi, melainkan fondasi kedaulatan mobilitas, konektivitas, dan efisiensi nasional.
Industri pertahanan juga harus ditempatkan sebagai bagian integral dari strategi ini, karena negara yang bergantung penuh pada impor alat utama sistem senjata tidak pernah benar-benar berdaulat. Pembangunan industri pertahanan nasional mendorong penguasaan teknologi tinggi, manufaktur presisi, dan efek pengganda yang luas bagi industri sipil.
Di luar manufaktur berat, industrialisasi nasional tidak boleh melupakan sektor-sektor berbasis kebutuhan dasar. Pertanian, perikanan, kehutanan, dan tekstil harus dibangun dengan paradigma intensifikasi, bukan ekstensifikasi.
Pembangunan industri tidak boleh terus bertumpu pada pembukaan lahan yang saling mematikan antarsektor dan merusak keseimbangan ekologis. Masa depan industri nasional terletak pada peningkatan produktivitas, efisiensi rantai pasok, teknologi pascapanen, pengolahan bernilai tambah, dan integrasi hulu-hilir yang kokoh.
Dengan pendekatan ini, Indonesia memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan pendapatan rakyat, dan menjaga keberlanjutan sumber daya.
Industrialisasi berbasis pasar nasional juga mustahil berhasil tanpa penguatan industri teknologi informasi, baik perangkat lunak maupun perangkat keras. Ketergantungan total pada sistem digital asing menjadikan Indonesia rapuh secara ekonomi, politik, dan keamanan.
Pengembangan
software nasional, sistem digital strategis, kecerdasan buatan, pusat data, serta perangkat keras penting harus dipandang sebagai kebutuhan nasional. Penguasaan teknologi bukan hanya soal efisiensi, tetapi tentang kedaulatan dalam mengelola data, sistem, dan arah pembangunan sendiri.
Selain itu, industri yang lahir dari penguasaan ilmu kimia dan biologi merupakan pilar penting yang sering terabaikan. Industri kimia mencakup pupuk, petrokimia, bahan baku industri, material maju, farmasi, hingga input penting bagi hampir seluruh sektor manufaktur.
Ketergantungan pada impor produk kimia dasar dan antara tidak hanya melemahkan neraca perdagangan, tetapi juga membatasi kemandirian industri nasional. Padahal, pasar domestik Indonesia menyediakan permintaan besar dan berkelanjutan bagi produk-produk ini.
Demikian pula industri berbasis biologi –pangan olahan, biofarmasi, alat kesehatan, benih, vaksin, bioteknologi pertanian, serta produk berbasis sumber daya hayati– memiliki posisi strategis dalam ketahanan pangan, kesehatan, dan lingkungan.
Penguasaan teknologi biologi bukan sekadar isu ekonomi, tetapi menyangkut kedaulatan negara dalam menentukan kualitas hidup warganya. Dalam kerangka industrialisasi berbasis pasar nasional, industri kimia dan biologi harus menjadi penghubung sistemik antara sektor hulu dan hilir, menopang pertanian, kesehatan, manufaktur, dan transisi menuju industri yang lebih berkelanjutan.
Sektor pertambangan, minyak bumi, gas, dan energi terbarukan juga harus ditempatkan dalam kerangka industrialisasi nasional, bukan sekadar eksploitasi sumber daya.
Energi dan bahan mentah harus menjadi fondasi tumbuhnya industri dalam negeri yang efisien dan bernilai tambah, termasuk dalam transisi menuju energi bersih yang dikuasai teknologinya oleh bangsa sendiri.
Dalam pembiayaan, Indonesia tidak perlu menutup diri terhadap investasi asing, namun harus tegas menjaga kendali strategis nasional. Indonesia membutuhkan pendanaan, teknologi, dan manajemen risiko, bukan dominasi kepemilikan.
Kepemilikan mayoritas nasional pada sektor strategis harus menjadi prinsip, sementara negara berperan sebagai orkestrator yang menyatukan visi, bukan sebagai operator tunggal yang mematikan inisiatif swasta nasional. Jika modal asing tidak sejalan dengan kepentingan ini, Indonesia tetap memiliki opsi pembiayaan melalui negara, perbankan nasional, pasar modal, dan kekuatan swasta dalam negeri.
Dengan menjadikan pasar nasional sebagai jangkar industrialisasi, Indonesia secara simultan meningkatkan penguasaan teknologi, kualitas sumber daya manusia, daya beli masyarakat, pemerataan ekonomi, serta penciptaan lapangan kerja.
Pengangguran dan kemiskinan ditekan bukan melalui bantuan semata, melainkan lewat ekosistem produksi yang nyata, terintegrasi, dan berkelanjutan. Industrialisasi semacam ini menumbuhkan kepercayaan diri kolektif bahwa Indonesia mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Pada akhirnya, ketika produk-produk nasional telah efisien, berkualitas, dan matang melalui kompetisi di pasar domestik yang besar dan menuntut, pasar internasional akan datang dengan sendirinya. Indonesia tidak perlu mengetuk pintu dunia dengan rasa inferior. Dunia akan menoleh ketika Indonesia siap.
Di sinilah makna Indonesia Emas menjadi nyata: sebuah bangsa yang maju bukan karena bergantung, tetapi karena mampu membangun kekuatan dari dalam, berdaulat dalam produksi, teknologi, dan ilmu pengetahuan, serta menentukan arah masa depannya sendiri dengan percaya diri.
*Penulis adalah Ketua Bidang Kebijakan Nasional IA-ITB dan Mahasiswa Magister Medkom Komunikasi Krisis UP
BERITA TERKAIT: