Mulanya, budayawan Butet Kertaradjasa mengatakan bahwa Solo merupakan kota kelahiran Widji Thukul, sang penyair yang kala itu kritis terhadap rezim Orde Baru.
"Di Solo lahir seorang penyair besar yang menjadi martir lahirnya demokrasi di Indonesia, sahabatku Widji Thukul. Sampai hari ini kita tidak tahu di mana kuburnya dan kalau memang sudah meninggal, bagaimana nasibnya kita tidak tahu," kata Butet.
"Saya undang ke sini anaknya Widji Thukul. Fitri Nganti Wani," sambung Butet.
Wani pun tampil berjalan ke panggung menyambangi Butet. Di atas panggung, Wani bercerita bahwa keluarganya sempat dijanjikan Presiden Jokowi soal penuntasan kasus penculikan aktivis tahun 1998. Dalam janjinya itu, Jokowi ingin kasus tersebut terang-benderang, terutama soal keberadaan Widji Thukul.
"Kasus penghilangan paksa yang menimpa Bapak Widji Thukul yang sampai sekarang belum juga beres. Bahkan sampai ibu Sipon (istri Thukul) meninggal," kata Wani.
"Sampai sekarang kami masih mengingat janji Bapak Presiden Jokowi perihal Widji Thukul harus ketemu, kasus ini harus bisa selesai, Widji Thukul harus bisa ditemukan," sambungnya.
Sayangnya, janji tinggalah janji. Hingga kini belum ada kejelasan soal keberadaan Widji Thukul.
Wani pun diberi kesempatan untuk membawakan puisi sang ayah berjudul
Peringatan.
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
“Lawaaaan,” sahut puluhan ribu massa pendukung Ganjar-Mahfud.
BERITA TERKAIT: