Tito menjelaskan, pembentukan Dewan Aglomerasi Jakarta yang rencananya akan dipimpin oleh wakil presiden (wapres), semata-mata merujuk pada pelaksanaan kebijakan yang sudah berjalan di daerah khusus lain di Indonesia.
"Apapun namanya nanti, diperlukan semacam mekanisme untuk harmonisasi dan sinkronisasi di aglomerasi. Ini memang kebutuhan. Dan ini sama seperti Badan Percepatan Pembangunan Papua yang dipimpin oleh wapres yang sudah berjalan dua tahun lebih," ujar Tito dalam keterangannya, Rabu (20/12).
Mantan Kapolri itu memastikan, ide pembentukan Dewan Aglomerasi sudah ada sejak 2022, sehingga tidak ada kaitannya dengan kepentingan atau janji kampanye calon presiden. Di samping itu, pembentukan badan yang fokus pada harmonisasi kebijakan bukanlah sesuatu yang baru Indonesia.
"Jakarta dengan kota satelit di sekitarnya sudah sangat intens, ada lebih dari 35 juta penduduk untuk seluruh aglomerasi ini. Interaksi dan mobilitasnya sangat tinggi," kata Tito.
"Banyak hal yang harus diharmonisasikan, mulai dari perencanaan pembangunan sampai evaluasi. Ini perlu ada koordinasi. Kalau tidak, bisa kacau," sambungnya.
Lebih dari itu, Tito menyampaikan contoh konkret dari persoalan yang terjadi di Jakarta dan harus diselesaikan bersama daerah-daerah penyangga sekitar Jakarta.
"Contohnya banjir. Daerah tangkapan air di Cianjur dan (Kabupaten) Bogor harus melakukan reboisasi. Kemudian daerah tengah, Bogor dan Depok, harus disiapkan semacam waduk. Terus daerah bawah, DKI Jakarta, harus siapkan pelebaran sungai, banjar kanal, sodetan," urainya.
"Kalau setiap kepala daerah bekerja dengan konsepnya sendiri, yang jadi korban adalah rakyat," demikian Tito.
BERITA TERKAIT: