Menurut Nusron, tudingan tersebut justru lebih pantas dialamatkan kepada partai penguasa pemilik kursi terbanyak di DPR dan menteri terbanyak di kabinet.
"Pihak yang punya instrumen (perilaku orde baru) itu partai dengan banyak menteri dan portofolionya digunakan untuk mendukung pasangan tertentu," kata Nusron, kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (28/11).
Dia juga menjelaskan, sistem seperti Orde Baru hanya terjadi bila ada pembungkaman suara-suara tokoh masyarakat, dan adanya tuduhan seperti yang Megawati utarakan itu tidak mungkin ada.
“Kalau seperti itu pasti sudah ditangkap. Tapi hari ini, kebebasan berbicara diberi hak dan keleluasaan. Itu menandakan pemerintahan Pak Jokowi sangat demokratis," katanya.
Sebaliknya, perilaku Orba mungkin terjadi bila instrumen negara dipakai untuk menakuti rakyat atau pihak lainnya. Misalnya, kata dia, penyalahgunaan intelijen negara untuk memenangkan paslon tertentu.
"Sistem Orba juga bisa terjadi manakala pendamping desa, petugas-petugas PKH, dan Kemensos digunakan untuk menakuti kelompok penerima manfaat sosial, seakan-akan program itu akan dihentikan kalau tidak dukung pasangan tertentu," rincinya.
Nusron juga menyebut, ada fenomena para pendamping desa mengarahkan masyarakat agar memilih pasangan tertentu. Bahkan menurutnya, pendamping Pekerja Migran Indonesia juga bisa melakukan hal serupa.
“Jadi, sebenarnya yang menerapkan Orba itu siapa? Menterinya siapa? Dari partai mana?” pungkas Nusron.
BERITA TERKAIT: