Aktivis Pemilu yang tergabung dalam Koalisi Masyrakat Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas, Valentina Sagala mempertanyakan sumber ide penghapusan aturan tersebut.
"Pertanyaannya kenapa KPU punya ide utk menghapus itu," ujar Valentina kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (20/6).
Dia berpendapat, KPU seolah menyampingkan manfaat aturan wajib LPSDK, karena yang dikemukakan ke publik justru gagasan baru, berupa imbauan kepada peserta Pemilu melapor setiap hari perkembangan dana kampanye.
"Tapi pengaturan tersebut tidak dibuat dalam regulasi, tapi Juknis (petunjuk teknis), dan ini dalam (surat) keputusan. Jadi daya ikatnya di bawah," sambungnya.
Berkaca dari pengalaman Pemilu 2019, sosok yang kerap disapa Valen ini mencatat tingkat kepatuhan peserta Pemilu menyerahkan LPSDK hanya 13 persen.
Sehingga, ia tidak mendorong KPU tidak menghapus aturan wajib LPSDK, bukan justru menemukan wacana baru yang nilai manfaatnya ke publik tidak dominan.
"Maka seharusnya Pemilu sekarang bukan menghapus LPSDK, dan bagaimana LPSDK ini dipatuhi. Tapi alih-alih sekarang KPU malah ingin menghapus itu, yang belum pernah dan pengaturannya itu diletakkan dalam juknis," tuturnya.
"Tentu itu lebih tepat daripada memuat laporan harian tersebut yang juga bagian kecil dari LPSDK, lalu dikecilkan dalam Juknis dalam bentuk daily update," demikian Valen menambahkan.
BERITA TERKAIT: