Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyanti, menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bertajuk “Kolaborasi Lindungi Pemilu Dari Ancaman Disinformasiâ€, yang digelar virtual, Senin (17/4).
“Masalah disinformasi trennya mulai 2014, tadi juga disampaikan terjadi di Pilkada (2017), lalu di (Pemilu) 2019,†ujar Khoirunnisa.
Sosok yang kerap disapa Ninis ini mengurai, perubahan kemunculan disinformasi dari 2014 hingga hari ini semakin mencolok. Khususnya terkait ruang lingkup dan tujuannya.
“Kalau 2014 tujuannya untuk mengubah opini publik, atau mengubah pilihan masyarakat. Jadi serang menyerang antarpeserta pemilu,†urainya.
Namun pada Pemilu Serentak 2019, disinformasi digunakan oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk mulai menyerang penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
“Yakni terkait tata cara proses pemilunya. Soal surat suara dan bagaimana memilih di TPS. Misalnya tadi ada disinformasi yang tersebar bahwa orang enggak perlu ke TPS,†terang Ninis.
“Tetapi (dalam disinformasi itu ada imbauan kepada publik agar) cukup ikut poling di salah satu platform medsos saja. Itukan hak pilihnya jadi hilang,†sambungnya menjelaskan.
Oleh karena itu, Ninis menilai masalah diinformasi ini menjadi satu hal penting yang harus diperhatikan KPU maupun Bawaslu. Sehingga penyebarannya bisa dicegah pada pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.
Untuk itu, lanjut Ninis, penyelenggara pemilu perlu meyakinkan publik bahwa mereka bekerja secara berintegritas sesuai prinsip penyelenggaraan pemilu. Dan tak kalah penting adalah meningkatkan kepercayaan publik.
“Misalnya kalau ada disinformasi bisa langsung direspons. Karena yang namanya diinformasi kalau sudah viral itu sulit menangkalnya,†demikian Ninis.
BERITA TERKAIT: