Konklusi tersebut disampaikan oleh Managing Director at Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, dalam diskusi bertajuk “Potret Kejahatan Keuangan di Menkeuâ€, Senin (20/3).
“Keanehan biaya hidup pegawai pajak hedonis ini sudah berlangsung lama,†ujar Anthony.
Ia menjelaskan, gaya hidup hedon aparat pajak seharusnya dicurigai oleh Sri Mulyani sejak menjadi Menteri Keuangan pada era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Pasalnya, ia mengetahui contoh kasus seperti Gayus Tambunan, seorang Pegawai Pajak Golongan IIIA yang memiliki harta kekayaan hingga Rp 74 miliar, hingga akhirnya menjadi terpidana kasus penggelapan pajak.
“Ini dikatakan Mahfud MD (Menko Polhukam), bahwa setelah kasus korupsi terbongkar, misalnya seperti (kasus) Gayus, Angin Prayitno, itu baru disidik soal TPPU. Jadi setelah kejadian baru disidik, tidak ada pencegahannya,†urai Anthony.
Padahal, menurut Anthony, Kemenkeu memiliki fungsi pengawasan kinerja aparat-aparat internalnya agar tidak melakukan tindak pidana korupsi maupun TPPU, sebagaimana tertuang dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Sementara dalam kasus yang heboh baru-baru ini, yaitu Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Rafael Alun Trisambodo, Sri Mulyani seolah buta, alih-alih tidak sama sekali melakukan pemeriksaan.
Sampai-sampai, juga muncul dugaan transaksi gelap sebesar Rp 300 miliar yang diungkap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan bahkan disampaikan pula oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
“Sri Mulyani harusnya bisa melihat, apakah dia tidak melihat gaya hidup (pegawainya di Kemenkeu), lalu ada laporan harta Rp 56,1 miliar (milik Rafael),†keluhnya.
“Apakah Menkeu tidak mencurigai itu sedikit pun, bahwa ini ada pegawai yang hidup dengan harta kekayaan yang sangat banyak, dan dikombinasikan dengan laporan PPATK, harusnya ini sudah disidik,†demikian Anthony menambahkan.
BERITA TERKAIT: