Menanggapi hal ini, Koordinator Komite Milenial Anti Korupsi (Komik) Agus L. mengatakan, jika dugaan kasus ini nantinya dapat dibuktikan oleh polisi, maka kemungkinan pelaku dapat dijerat dengan pasal pemalsuan dokumen dalam KUHP Pasal 263 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) dengan ancaman hukuman 8 tahun penjara.
"Terkait pemalsuan dokumen ini memang pidananya cukup berat, jadi cukup serius, apalagi terjadi di institusi pemerintahan daerah yang cukup ketat SOPnya," ujar Agus dalam keterangannya, Sabtu (25/2).
Menurutnya, norma hukum yang secara umum berlaku ketika penyidik menaikan proses hukum ke penyidikan sebagaimana yang diatur dalam pasal 109 Ayat (1) KUHAP, seharusnya sudah ada tersangka atau minimal calon tersangka, karena untuk kasus pemalsuan dokumen negara ini pembuktiannya tidak terlalu sulit.
"Nah jika lokus kejadian ada di BKD Papua, maka siapa yang paling bertanggung jawab? Tentu saja unsur pimpinan BKD saat adanya dugaan pemalsuan dokumen ini. Kita tunggu proses hukum ini berjalan," tegas Agus yang juga seorang advokat ini.
Selain itu, Agus menegaskan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) terikat pada norma-norma etik sesuai kode etik dan kode perilaku dalam bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, diri sendiri dan sesama ASN, sebagaimana tertuang dalam UU 5/2014.
"Karena itu secara etik, Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) harus berinisiatif ketika adanya laporan dari pelapor, sehingga proses hukum seiring dengan proses pelanggaran etik ASN yang jadi wewenang KASN," sambung Agus.
Sementara itu, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Papua, Marthen Kogoya menegaskan, dirinya sama sekali tidak mengetahui adanya surat pengunduran diri berisi tanda tangan palsu mantan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Papua Riki Douglas Ambrauw.
“Kami di BKD sangat tahu tentang aturan dan UU ASN No 5 Tahun 2014. Tidak mungkin kami melakukan sesuatu yang melawan hukum dengan memalsukan tanda tangan,†ujar Marthen Kogoya kepada wartawan di Jayapura pada Rabu (22/2).
BERITA TERKAIT: