Komisioner KPU, Hasyim Asyari menanggapi penilaian yang disampaikan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) tersebut dalam diskusi virtual bertajuk "Mengkaji Konstitusionalitas Jadwal Pemilu Indonesia", yang digelar Kamis (10/3).
Hasyim menjelaskan, dalam praktek ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami pemilu yang jangka waktunya tidak lima tahun sekali, melainkan sudah berganti rezim dari era Presiden RI pertama Soekarno ke era Presiden RI kedua Soeharto.
"Kita bisa sama-sama cek kembali praktik ketatanegaraan kita. Pemilu kita pernah ada pemilu (tahun) 1955, kemudian pemilu berikutnya tahun 1971," ujar Hasyim.
Hasyim menyatakan, cara berpikir hukum pada dasarnya ada tiga, yaitu argumentasi filosofis, argumentasi sosiologis, dan argumentasi yuridis.
"Tiga aspek ini mesti dipertimbangkan, yaitu filosofis, sosiologis, dan yuridis," imbuhnya.
Dari situ, Hasyim bertanya-tanya, apakah pengalaman Pemilu 1955 ke pemilu 1971 itu bisa disebut juga sebagai penundaan? Sebab, jangka waktu pelaksanaan pemilu yang sangat jauh juga terjadi setelahnya, yakni antara Pemilu tahun 1971 ke pemilu 1997.
"Apakah itu bisa disebut penundaan?" tanyanya.
Namun, perubahan drastis mengenai penetapan waktu pelaksanaan pemilu terjadi pada rentang waktu 1997 menuju tahun 1999.
"Kemudian pemilu 97 ke pemilu 99, apakah itu bisa disebut percepatan pemilu?" lanjut Hasyim.
Lebih lanjut, Hasyim menegaskan bahwa praktik ketatanegaraan Indonesia dalam hal pelaksanaan pemilu dalam rentang waktu tersebut terjadi di bawah payung konstitusi yang sama.
"Tidak ada amandemen sama sekali," tegasnya.
"Saya tidak ingin menjawab di forum ini. Tapi saya ingin menyatakan bahwa praktik ketatanegaraan kita pernah terjadi begitu," tandas Hasyim.
BERITA TERKAIT: