Artinya akan ada sebanyak 272 penjabat (Pj) kepala daerah menggantikan 272 kepala daerah yang akan berakhir masa tugasnya pada 2022-2023. Artinya lagi, hampir setengah wilayah di Indonesia akan dipimpin kepala daerah yang bukan dipilih langsung oleh rakyat hingga hasil Pilkada 2024 terbit.
Bagi anggota DPD RI, Fahira Idris, situasi tersebut adalah persoalan krusial. Selain karena jumlahnya daerah yang cukup banyak, sehingga juga membutuhkan banyak SDM profesional untuk mengisinya, durasi yang cukup panjang jadi sorotannya.
Di sisi lain, lanjut Fahira, pada 14 Februari 2024 akan digelar Pileg dan Pilpres secara bersamaan yang tentunya membutuhkan seorang kepala daerah yang teruji dan mumpuni.
“Sejak awal diskursus opsi ditiadakannya Pilkada 2022 dan 2023 karena akan digabung pada Pilkada 2024, saya termasuk dari banyak pihak yang menolak,†tegasnya seperti diberitakan
Kantor Berita RMOL Jakarta, Kamis (17/2).
Fahira berpandangan, terlalu besar konsekuensi yang harus ditanggung jika setengah dari wilayah di Indonesia dipimpin oleh kepala daerah yang bukan hasil dari pilkada atau tidak dipilih rakyat.
"Karena efektivitas kebijakan dan pembangunan tidak akan optimal," kata Fahira.
Meski begitu, lanjut Fahira, pemerintah dan DPR mempunyai pemikiran yang berbeda. Ia mengaku tidak tahu persis apa alasan utama Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan, sehingga setengah wilayah Indonesia harus dipimpin Pj dalam durasi waktu yang cukup panjang.
Karena peniadaan Pilkada 2022 dan 2023 ini sudah resmi, karenanya Fahira minta Pemerintah segera menyusun regulasi pengangkatan Pj yang yang komprehensif, transparan, akuntabel dan memastikan ruang partisipasi dan pengawasan publik terhadap pengangkatan Pj ini.
"Hal paling penting yang juga harus dipastikan dalam pengangkatan Pj ini adalah siapapun yang ditunjuk tidak bersinggungan dengan kepentingan tertentu,†pungkas Fahira Idris.
BERITA TERKAIT: