Fakta tersebut diungkap mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu, dalam wawancaranya bersama Hersubeno Arief, melalui siaran kanal Youtubenya, Minggu (3/10).
Said Didu mengatakan, utang Publik sekarang yang terdiri dari utang BUMN ditambah utang pemerintah dan utang BI sudah mendekati sekitar Rp 13.000 triliun, atau sekitar 80 persen dari PDB Indonesia yang diperkirakan sekitar Rp 18.000 triliun.
Namun khusus utang pemerintah, Said Didu mencatat sampai sekarang sudah mendekati Rp 6.700 triliun, dan diperkirakan akhir tahun ini menjadi Rp 7.000 triliun.
Menurutnya, angka tersebut sudah bertambah sekitar Rp 4.000 triliun dari nilai utang yang tercatat pada 2014 silam yang sebesar Rp 2.700 triliun.
"Perkiraan saya, dengan tambahan utang Rp 4.000 triliun itu akan menciptakan pendapatan rakyat, pendapatan negara dari kegiatan industri, jasa, sehingga negara bisa mendapat peningkatan," ujar Said Didu dikutip Senin subuh (4/10).
Akan tetapi nyatanya, Said Didu melihat pemerintah mengeluarkan kebijakan baru terkait perpajakan yang justru membuat dompet rakyat semakin kempis. Karena, DPR RI telah menyepakati kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1 persen tiap tahunnya secara bertahap hingga 2025, yang dimulai tahun 2022 menjadi 11 persen dari 10 persen.
Dari situ, Said Didu menilai pemerintah telah kehabisan cara mencari solusi menyiasati pembayaran utang yang sudah menggelembung. Yakni, dengan membebankan rakyat lewat pembayaran pajak.
Maka dari itu, pengamat kebijakan publik ini menyimpulkan kebijakan utang pemerintah tidak lagi berdampak pada pertumbuhan kegiatan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja, tetapi justru semakin menyengsarakan rakyat di masa pandemi Covid-19 yang masih belum mereda hingga sekarang ini.
"Utang pemerintah ini tidak menyebabkan peningkatan ekonomi, industri perluasan lapangan kerja. Terus utang ini dipakai apa? Justru yang kita lihat pengangguran bertambah, dan industri tidak tumbuh," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: