Sebagai lembaga tertinggi, MPR yang beranggotakan anggota DPR, utusan golongan, dan daerah, bermusyawarah untuk menentukan masa depan bangsa ini dianggap sebagai representasi rakyat Indonesia. Namun MPR yang dulu tidak seperti yang sekarang.
"MPR sidang paling tidak sekali dalam 5 tahun," kata Managing Director of Political Economic and Policy Studies (Peps) Anthony Budiawan dalam keterangan tertulis yang membandingkan peran MPR dulu dan sekarang, Jumat (20/8).
Dulu, lanjut Anthony, agenda sidang MPR ialah menerima/menolak laporan pertanggungjawaban presiden. Kalau MPR menolak, presiden berhenti, seperti Soekarno dan Habibie.
Saat ini, kata Anthony, MPR bersidang hanya untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden. Jikalau dulu, MPR bisa memanggil Presiden jika diduga bersalah dan bisa berhentikan presiden, sebagaimana Presiden ke-4 Gus Dur yang diberhentikan oleh MPR.
"Sekarang DPR usul kepada MK apakah presiden melanggar hukum, lalu usul kepada MPR proses pemberhentian. Artinya MPR tidak ada wewenang sendiri," tandasnya.
MPR yang dulu juga menetapkan Garis Besar Haluan Negara atau GBHN yang sepenuhnya harus dijalankan oleh Presiden sebagai mandataris MPR. Kalau presiden melanggar, MPR bisa adakan sidang istimewa (SI) dan berhentikan Presiden.
"Sekarang, Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR, sehingga GBHN tidak berguna lagi. Tidak ada SI," sesalnya.
BERITA TERKAIT: