Hal itu dikarenakan data kependudukan adalah informasi awal yang diperlukan untuk membuka dan membuat segala jenis pelayan publik. Jika dari awal sudah tercemar, maka bisa dipastikan akan bermasalah ke depannya.
"Ketika 'mengomersilkan' data kependudukan, hendaknya harus ada transparansi dan dikelola dengan membentuk semacam badan independen yang disebut
public data clearing house," kata Founder Indonesia Cyber Security Forum (ICFS), Ardi Sutedja saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (2/1).
Hal itu menurutnya penting dilakukan mengingat kerja sama dalam urusan data publik tidak boleh sembarangan untuk menghindari
abuse atau penyalahgunaan.
Selain itu, ia juga menegaskan tidak ada satu pihak mana pun yang bisa menjamin mitra-mitra Dukcapil yang bekerja sama sudah aman.
"Kalau ada yang mengatakan sebaliknya pun harus ditanya, siapa badan yang diberikan kewenangan untuk memastikan dan orangnya ada nggak untuk memeriksa dan audit?" pungkasnya.
Belakangan, data kependudukan masyarakat kembali menjadi sorotan usai adanya kasus pemalsuan data
simcard hingga berujung pembobolan rekening yang menimpa wartawan senior, Ilham Bintang.
Sejauh ini, Ardi membeberakkan sedikitnya ada 1,350 perjanjian Diskdukcapil dengan pihak ketiga yang meliputi sektor industri keuangan dan industri keuangan nonbank.
Namun hampir semua perjanjian dan bentuk kerja-sama tersebut tidak pernah transparan dan terbuka kepada publik. Padahal, lanjutnya, kerja sama tersebut berkaitan dengan data-data kependudukan masyarakat Indonesia.
BERITA TERKAIT: