Soal Serapan Anggaran Daerah, Eks Bupati Purwakarta Beri Usulan Untuk Mendagri

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Minggu, 27 Oktober 2019, 01:47 WIB
Soal Serapan Anggaran Daerah, Eks Bupati Purwakarta Beri Usulan Untuk Mendagri
Dedi Mulyadi beri sejumlah usulan untuk Mendagri baru/Istimewa
rmol news logo Anggota DPR RI, Dedi Mulyadi menanggapi pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian yang menyebut akan menyisir daerah-daerah yang mengalami penyerapan anggaran rendah.

Dedi Menilai, rendahnya penyerapan anggaran di sebuah kelembagaan bisa disebabkan oleh ketidaktepatan perencanaan. Lalu kedua, prosedur pengelolaan yang relatif rumit administratif, dan ketiga adalah rasa takut di kalangan penyelenggara negara.

Menurut Dedi, rasa takut di kalangan penyelenggara negara terjadi karena belum sinkronnya berbagai institusi negara terhadap konsen penyerapan anggaran.

Untuk mengatasinya, Dedi mengusulkan harus ada perubahan mekanisme birokrasi. Salah satunya ialah penyederhanaan proses lelang. Lalu kedua, mekanisme pembayaran dilakukan setelah semua pekerjaan selesai dan sudah dilakukan audit.

Dikabarkan Kantor Berita RMOLJabar, selama ini pembayaran dilakukan secara bertahap dengan sistem termin. Menurut Dedi, sistem itu tidak efektif dan malah membuat birokrasi kian rumit. Belum nanti jika ada sisa anggaran, menagihnya ke pihak ketiga atau pemborong akan susah.

"Bahkan terkadang ada pemborong yang bilang lebih baik dipenjara daripada harus mengembalikan uang. Nah, nanti yang repot kepala dinas," kata mantan Bupati Purwakarta dua periode ini, Sabtu (26/10).

Selain itu, dengan sistem saat ini, proses auditnya memakan waktu yang lama. Misalnya, pekerjaannya selesai bulan Juli, nanti diaudit Maret atau April tahun berikutnya. Pekerjaan yang diaudit pun berupa sampel, tidak menyeluruh sehingga dikhawatirkan kualitas pekerjaan tidak merata.

Menurutnya, jika sistem audit dilakukan setelah pekerjaan selesai, maka penyimpangan pengelolaan kegiatan tidak akan pernah ada.

"Kalau akhirnya lelang disederhanakan dan pekerjaan dibayar setelah hasil diaudit, bisa tidur nyenyak," ungkapnya.

Selain itu, auditor juga harus bisa mempertanggungjawabkan hasil auditnya. Sebab, seringkali terjadi pekerjaan yang selesai tetap menjadi ranah penyelidikan. Jadi akhirnya tidak ada kepastian hukum.

"Saya juga usulkan proses penyelidikan pada sebuah kasus tindak pidana korupsi dilakukan setelah ditemukan adanya kerugian negara. Bukan dibalik. Kerugian negara baru diaudit investigatif setelah panjang dan rumitnya penyelidikan. Itu yang mengakibatkan kelelahan birokrasi," kata politikus Golkar ini.

Selain itu, untuk mencegah kebocoran, Dedi mengusulkan komponen produksi, seiring dengan hilangnya struktur eselon, yang dibayar dalam bentuk honorarium pegawai dilakukan setelah produksi selesai.

"Misalnya, pekerjaan senilai Rp 1 miliar dan sudah 100 persen dibayar, itu nanti harus ada komponen dipisah untuk penyelenggara kegiatan. Diambil lah misalnya dua persen dari total pekerjaan untuk honor pegawai," ucap Dedi.

"Kalau kebijakan itu dibuat, maka birokrasi dapat uang legal dari lelahnya bekerja dan bebas dari kebocoran," sambungnya.

Dedi juga mengusulkan agar institusi Inspektorat harus diubah pertanggungjawabannya bukan pada bupati, tetapi secara vertikal. Bertanggung jawab langsung ke provinsi dan pusat.

"Atau tempatkan pegawai BPK di daerah," tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA