Sebelum dimulai Piala Dunia 2018 juga sudah menimbulkan drama tersendiri dengan gagalnya Belanda dan Italia tampil di laga sepakbola terbesar empat tahunan itu ini. Bukan hanya dua negara ini yang gagal hadir, langganan piala dunia lainnya Kamerun, Cile dan Amerika Serikat juga gagal berpartisipasi dalam pesta olahraga terbesar peminatnya di jagat raya ini.
Lalu, terjadikah kerusuhan di dunia ini akibat tidak lolosnya lima negara ini? Tidak sama sekali. Kenapa demikian? Karena ada jiwa sportivitas yang tinggi di kelima negara ini. Bahkan fans mereka di luar negaranyapun tak membuat keributan. Website FIFA tidak diserang. Semua wasit yang memimpin pertandingan sehat wal afiat. Panitia penyelenggara masing-masing zona juga tidak terganggu sama sekali. Para pendukung masing-masing negara lebih banyak menyalahkan organisasi bola setempat, pelatih dan para pemain. Mereka paham betul kegagalan ini bukan salah lawan-lawan mereka.
Hari ini babak 16 besar Piala Dunia 2018 masih berlangsung. Drama juga masih berlangsung. Argentina, Portugal, Spanyol dan Denmark juga mengikuti jalan duka yang dialami Jerman. Menariknya dari seluruh pertandingan yang terjadi, dengan kekalahan-kekalahan negara-negara besar sepakbola, bertaburnya kartu kuning dan kartu merah, lagi-lagi tetap saja tidak ada kerusuhan apapun di seluruh stadion-stadion sepakbola Rusia. Semua menerima kepahitan-kepahitan yang muncul. Hanya ada tangis dari pendukung dan pemain. Tidak ada sama sekali kemarahan brutal di sana.
Inti dari semua cerita di atas adalah, apapun itu, semua sudah ada aturan mainnya. Semua pihak menghormati bersama aturan yang sudah disepakati. Bahkan pilihan teknologi yang dilibatkan juga dihormati bersama. Piala Dunia kali ini memanfaatkan teknologi Video Assistant Referee (VAR) dan Goal Line Technology (GLT) yang didukung semua pihak karena semua sepakat untuk menghadirkan akurasi fakta dan objektivitas keputusan dalam setiap pertandingan.
Bagaimana dengan pesta demokrasi Indonesia? Sejak Pemilu 1999 telah dirintis berbagai upaya untuk kemajuannya. Berbagai aturan dan mekanisme terus diperbaiki dengan munculnya berbagai UU Pemilu, Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu dan sebagainya. Tentu kita semua berharap dengan itu semua akan muncul KPU dan Bawaslu yang sangat profesional, yang bisa menghadirkan pesta demokrasi yang jujur dan adil tanpa kejanggalan-kejanggalan atau keberpihakan pada tahap persiapan, pelaksanaan, pencoblosan, perhitungan dan pengumuman hasilnya.
Demikian juga dengan apa yang disebut IT KPU yang telah dipersiapkan sejak Pemilu 2004. Tentu kita berharap akan menjadi alat untuk mempermudah dan meninggikan akurasi hasil dari pemilu. Namun sungguh sayang, hingga hari ini investasi IT terus menerus itu tidak membuat pesta demokrasi kita semakin bagus, jujur, adil dan transparan. Malah kita harus menerima status konyol di situs KPU yang menyatakan bahwa website down karena ingin meningkatkan kualitas pemilu. Ini logika dodol dari mana?
Tidak bisakah kita menjadi bangsa yang lebih maju dan beradab dalam urusan demokrasi? Haruskah kecurangan demi kecurangan menjadi tradisi bagi kita di setiap pesta demokrasi? Bagaimana kita bisa maju dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain jika kita enggan berbenah dan menata diri bersama? Mari belajar profesionalisme dari Piala Dunia 2018. Pesta bola dunia ini masih berlangsung, masih bisa kita nikmati dan pelajari. Ayo berubah menjadi bangsa petarung yang punya jiwa kesatria menerima apapun hasil pertarungan. Jangan siap menang tapi tak siap kalah. Kalau tak siap kalah, jangan pernah bertarung
! [***]Penulis adalah alumni ITB, mantan aktivis kemahasiswaan, pemerhati politik nasional
BERITA TERKAIT: