Untuk menyeimbangkan neraca keuangan, sejumlah BUMN terutama yang bergerak di bidang energi dan infrastruktur, terancam harus menghentikan investasi dalam lima tahun ke depan.
"Satu per satu masalah yang ditanam oleh rezim berkuasa saat ini mulai meletus menjadi ancaman. Kita sudah mengingatkan dari awal bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan saat perekonomian sedang lesu dan negara tak punya uang sangatlah berbahaya. Tapi Presiden berdalih bahwa pembangunan infrastruktur tak akan membebani APBN," sebut Fadli dalam keterangannya, Kamis (7/8).
"Kini kita bisa sama-sama melihat bahwa dalih tersebut tidaklah benar. Pada kenyataannya pembangunan tadi telah dibiayai oleh utang BUMN yang risikonya pasti kembali lagi ke APBN," tambahnya.
Sebagai gambaran, saat ini total utang BUMN mencapai Rp 4.825 trliun atau naik Rp 1.337 triliun dibandingkan catatan utang tahun 2014 yang sebesar Rp 3.488 triliun. Kalau diperhatikan data-data mengenai utang Indonesia, lonjakan utang sektor publik terjadi sejak tahun 2014 memang terutama disebabkan lonjakan utang BUMN.
Jelas Fadli, ada dua masalah fatal terkait utang BUMN tersebut. Pertama, sebagian besar utang itu merupakan utang jangka pendek. Ini akan berbahaya, sebab situasi perekonomian baik global maupun domestik sedang mengalami kontraksi. Kedua, dari data yang dia pegang, sekitar 60 persen utang tersebut berbentuk valuta asing yang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Jika nilai tukar rupiah melemah, BUMN tentu akan semakin berdarah-darah.
Meski total aset BUMN naik menjadi Rp 7.212 triliun pada akhir 2017, dengan angka utang Rp 4.825 triliun, rasio utang BUMN sudah mencapai 67 persen aset. Ini sudah lampu merah sebenarnya. Celakanya, terang Fadli, dalam kondisi semacam itu, Kementerian BUMN masih menargetkan untuk menambah utang hingga Rp 5.253 triliun sepanjang tahun ini.
"Coba anda bayangkan, dalam tiga tahun terakhir sejak 2014, semua BUMN karya kita utangnya naik di atas 100 persen, bahkan ada yang lebih dari 600 persen. Ini kekeliruan kebijkan. PT Waskita Karya Tbk, misalnya, utangnya meroket hingga 669 persen. Meskipun tak sampai meroket, PT Wijaya Karya Tbk lonjakan utangnya mencapai 181 persen, PT Adhi Karya Tbk utangnya naik 155 persen, dan PT Pembangunan Perumahan Tbk utangnya naik 125 persen. Dari sudut pandang manapun, kenaikan tersebut sangat tidak sehat," tutur politisi Gerindra itu.
Tidak heran, sambung dia, Standard & Poor's Global Ratings telah memberi kartu kuning bagi BUMN kita. Neraca BUMN memang terus memburuk sesudah terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur pemerintah. BUMN, terutama yang berada di sektor kelistrikan dan konstruksi telah mencetak utang yang sangat besar. Hal ini telah menyebabkan neraca perseroan jadi berdarah-darah.
Masih kata Fadli, akibat perencanaan pemerintah yang ceroboh, saat ini kita telah masuk dalam jebakan utang yang sangat berbahaya. Masyarakat tak boleh lupa, seluruh krisis ekonomi yang pernah terjadi selalu terkait dengan utang. Krisis pada tahun 1997-1998, misalnya, terjadi akibat akumulasi utang yang terjadi pasca-liberalisasi sektor keuangan pada dekade 1980-an. Begitu juga dengan krisis utang di Amerika Latin pada dekade 1980-an, disebabkan oleh ekspansi fiskal dan akumulasi utang pemerintah yang berlebihan.
"Bagaimana pemerintah akan mengatasi krisis utang BUMN ini? Dengan PMN (Penyertaan Modal Negara)? Dari mana pemerintah mendapatkan uang untuk memberikan PMN? Dari menambah utang pemerintah? Ini kan jadi seperti lingkaran setan, karena ujung-ujungnya tetap kembali ke APBN. Itu sebabnya, saat Presiden dulu mengklaim bahwa pembangunan infrastruktur tidak akan membebani APBN, sejak awal saya menganggapnya omong kosong. Cukup jelas semua itu kini sedang mengarah untuk membebani APBN," tutup Fadli Zon.
[rus]
BERITA TERKAIT: