Kalimat terakhir di atas merupakan kalimat kunci, bahwa UUD 1945 disusun sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia, bukan masyarakat Eropa, Amerika, Rusia, China atau lainnya. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-Undang Dasar dari suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keteranganya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibuat.
Rangkaian kalimat di atas merupakan cuplikan dari Penjelasan tentang UUD Negara Republik Indonesia yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Cuplikan tersebut disodorkan dalam artikel ini, untuk melatarbelakangi pembahasan UU Nomor 2/2018 sebagai buah amandemen UUD 45. Sebab rasanya aneh, sebuah rancangan undang-undang dibahas antara DPR dengan Pemerintah dalam Rapur DPR dan disetujui menjadi undang-undang, namun Presiden tidak bersedia tanda tangan, tetapi bisa diundangkan
"Hari ini kan sudah terakhir dan saya sampaikan saya tidak menandatangani UU tersebut," kata Jokowi kepada wartawan di Serang, Banten, 14 Maret 2018. Konon, Jokowi mengaku tidak mendapatkan penjelasan mengenai sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3 dari Menkumham Yasonna Laoly. Namun demikian, Jokowi juga tidak akan mengeluarkan Perppu untuk membatalkan sejumlah pasal yang kontroversial. Jokowi mempersilahkan masyarakat untuk mengajukan uji materi ke MK.
Artikel ini tidak membahas pasal-pasal kontroversial, tetapi akan membahas atau mencari penyebab mengapa hal ini bisa terjadi. Singkatnya, hal ini bisa terjadi karena adanya perubahan atau amandemen UUD 1945 Pasal 20 dan Pasal 21. Pasal 20 ayat (1) setelah diamandemen: "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang".
Sedangkan Pasal 20 ayat (5) "Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan".
Dengan demikian, suka tidak suka, UU No 2/2018 tentang MD3 adalah sah, walau Presiden tidak tanda tangan. Mensesneg sebagai pembantu Presiden pun tidak bisa berkutik.
Apabila Pasal 20 dan 21 UUD 45 tidak diamandemen, konsep RUU tidak akan masuk dalam persidangan dan menjadi undang-undang. Sebab, konon Jokowi mengaku dirinya tidak menandatangani karena menangkap ada keresahan masyarakat terkait adanya sejumlah pasal kontroversial. Artinya, dan memang benar, keresahan masyarakat terhadap pasal-pasal kontroversial sudah ada sejak masih bentuk RUU. Artinya, patut dinilai sejak awal RUU tidak memiliki kekuatan sosiologis dan filosofis.
Sebelum UUD 45 diamandemen, Pasal 21 ayat (1) memberikan ‘hak’ kepada anggota DPR memajukan RUU. Namun, pada ayat (2): "Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh DPR, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu". Dengan demikian, alasan Jokowi tidak bersedia tanda tangan karena ada keresahan masyarakat, dan keresahan masyarakat sudah ada sejak masih RUU, mengandung pengertian, jika Ps. 20 dan Ps 21 UUD 45 tidak diamandemen, RUU tidak akan masuk dalam persidangan. Perkataan lain, UU No. 2/2018 MD3 lahir sebagai buah amandemen UUD 1945.
Mencermati struktur dan isi UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945, sebagai contoh rumusan Pasal 20 dan 21, tampak lebih mencerminkan kebutuhan bagaimana sistim dan bentuk pemerintahan yang disiapkan untuk Indonesia Merdeka. Para founding fathers sangat jauh dari pemikiran kepentingan politiknya. Nilai-nilai kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan lebih mengemuka digunakan untuk menyusun pasal-pasal dalam undang-undang dasar.
Pasal 73, 122 huruf k, 245 UU No 8/2018 MD3 dinilai sebagai pasal yang membuat DPR superbody, sehingga masyarakat baik individu maupun organisasi geregetan atau sudah tidak sabaran. Konon Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan beberapa perorangan WNI sudah mengajukan uji materi, walaupun belum ada nomornya. Pada sidang perdana, MK telah memberikan waktu kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.
Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI), sebagai gerakan moral dan intelektual yang terbuka bagi perorangan dan organisasi yang satu visi dan misi masuk dalam gerakan, juga menilai ada beberapa pasal dalam UU No 2/2018 tentang MD3, yang betentangan dengan UUD 1945. Setelah UU No. 2/2018 diberi nomor dan diundangkan, GKI bermaksud membuat Petisi kepada DPR RI dan Pemerintah, serta akan mengajukan 'judicial review' ke MK. GKI membuka diri kepada perorangan dan organisasi yang memiliki kehendak sama untuk bergabung.
Semoga Tuhan YME meridhoi atas pengabdian kita untuk negara dan bangsa. Insya Allah, amin.
[***]
*Penulis adalah Aster Kasad 2006-2007, Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012, aktif di Rumah Kebangkitan Indonesia.
BERITA TERKAIT: