Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Paradoksal Cawapres Presiden Jokowi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/johan-o-silalahi-5'>JOHAN O. SILALAHI</a>
OLEH: JOHAN O. SILALAHI
  • Selasa, 06 Maret 2018, 20:52 WIB
Paradoksal Cawapres Presiden Jokowi
Johan O. Silalahi
PASKA pernyataan pencalonan kembali secara resmi Presiden Jokowi oleh PDIP, maka implikasinya Presiden Jokowi adalah calon Presiden pertama yang memenuhi persyaratan dan sudah pasti akan bertarung dalam Pilpres 2019 tahun depan.

PDIP bersama Partai Golkar, serta Partai Nasdem dan Partai Hanura sudah memenuhi syarat lebih dari cukup untuk mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres sesuai aturan perundangan-undangan Pemilu dan Pilpres serentak 2019 yang akan datang.

Tapi ternyata dukungan dari partai politik kepada Presiden Jokowi, tidak identik dengan dukungan politik dari rakyat Indonesia kepada Presiden Jokowi. Hasil survei secara nasional berbagai lembaga survei menunjukkan rata-rata tingkat keterpilihan atau elektabilitas Presiden Jokowi saat ini masih berkisar pada 45-50 persen. Sungguh interval yang relatif masih mengkhawatirkan, karena masih harus dikurangi dengan ‘margin of error’ berkisar pada 2-3,5 persen, sehingga diperoleh elektabilitas riil Presiden Jokowi masih berada dalam batas yang tidak terlalu aman yang bisa menjamin Ia akan terpilih kembali untuk periode jabatan keduanya.

Hukum paradoksal betul-betul nyata bisa dilihat dan dirasakan saat menentukan siapa kelak akhirnya yang akan menjadi pendamping Presiden Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2019 nanti. Seperti kita pahami bersama, hukum paradoksal yang berlaku abadi dalam kehidupan yang fana ini yaitu ketika kita memilih salah satu di antara sedemikian banyak pilihan yang tersedia, maka saat itu juga berarti kita juga kehilangan semua alternatif yang lainnya. Terminologinya dalam bahasa Inggris, “When you choose something, you will loose another thing”. Sebagai contoh dalam logika sederhana Pilpres, saat kita sudah mencoblos salah satu pasangan Capres/Cawapres, maka surat suara seketika akan batal demi hukum jika kita mencoblos lagi pasangan Capres/Cawapres lainnya.

Fenomena paradoksal ini akan terjadi saat Presiden Jokowi dalam kurun waktu 5 bulan ke depan, harus memilih siapa yang mendampinginya sebagai Cawapres dalam Pilpres 2019 tahun depan. Saat Presiden Jokowi memilih satu nama sebagai Cawapresnya, maka secara otomatis ia akan kehilangan semua alternatif Cawapres lainnya sebagai konsekuensi dari pilihannya itu. Karena merupakan pilihan politik, maka secara rasional arti dari kehilangan pilihan lainnya itu, termasuk juga kehilangan para pendukung dari tokoh tersebut, baik partai, simpatisan maupun pengikutnya.

Presiden Jokowi dihadapkan pada pilihan yang sangat dilematis. Jika memilih A ada risiko kehilangan B, C dan seterusnya. Jika memilih X, maka risikonya akan kehilangan Y, Z dan yang lainnya. Tugas Presiden Jokowi bersama elite partai politik pendukungnya adalah harus memilih seorang tokoh yang akan mendampingi sebagai Cawapresnya dalam Pilpres 2019, yang paling sedikit atau sangat minimal implikasinya atas fenomena paradoksal tersebut.

Bagi PDIP dan seluruh partai politik pendukung Jokowi, target memenangkan Pilpres 2019 tentunya tidak bisa ditawar lagi. Opsi mutlak untuk memenangkan Pilpres 2019 ini membawa konsekuensi Cawapres yang mendampingi Jokowi harus memenuhi banyak kriteria dan persyaratan. Yang paling utama tentunya siapa Cawapres Jokowi yang paling potensial bisa membantu memenangkan Pilpres 2019 dengan membawa kontribusi suara pemilih yang signifikan.
Fenomena dan eksistensi seorang petahana yang sangat tinggi elektabilitasnya sehingga bisa dipasangkan dengan Cawapres manapun, ternyata tidak terwujud dalam Pilpres 2019 ini. Hampir semua nama kandidat Cawapres yang muncul dalam berbagai survei nasional 5 bulan sebelum pendaftaran Capres dan Cawapres Agustus 2018 ini, ternyata memiliki implikasi fenomena paradoksal yang sangat signifikan.

Jika disimulasikan dan dianalisis secara holistik dan komprehensif dengan semua alternatif nama Cawapres, ternyata suka tidak suka dan mau tidak mau, pilihan paling prospektif untuk menang mudah dalam Pilpres 2019, kembali lagi pada tokoh senior Wakil Presiden RI saat ini yakni Jusuf Kalla. Hasil simulasi dan analisis menunjukkan bahwa pada hampir semua aspek, Jusuf Kalla mencatat nilai tertinggi yang bisa membantu kepastian kemenangan dalam Pilpres 2019 nanti.

Akan tetapi, ada dua aspek penting yang menjadi sorotan publik terkait pencalonan kembali JK sebagai Cawapres Jokowi. Aspek pertama, terkait alasan Jusuf Kalla tidak ingin maju lagi Pilpres karena sudah tua, ingin istirahat dan menikmati masa pensiun dari kegiatan politik dan kenegaraan. Dalam perbincangan empat mata kami dahulu saat Jusuf Kalla mau maju mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2014, Jusuf Kalla memang sudah menyatakan bahwa ini adalah terakhir kalinya maju lagi dalam Pilpres, karena ingin menikmati masa pensiun dan memiliki waktu bersama keluarga. Tetapi jalan kehidupan manusia tidak pernah ada yang tahu kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa. Ternyata perkembangan situasi dan kondisi bangsa dan negara kita saat ini memunculkan realitas politik bahwa Jusuf Kalla diharapkan bersedia kembali berkorban waktu, tenaga dan pikiran bagi bangsa dan negara kita.

Ketatnya peta persaingan Cawapres Presiden Jokowi saat ini, serta kemungkinan divergensi dan keterbelahan politik yang sangat kuat yang mungkin terjadi pada bangsa dan negara kita kedepan, membawa implikasi masih dibutuhkannya figur seorang Jusuf Kalla untuk maju lagi mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019 nanti. Jika ternyata di tengah perjalanan Jusuf Kalla betul-betul ingin istirahat dan pensiun menikmati hari tuanya, bisa saja pada pertengahan periode setelah menang dan terpilih mendampingi Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019, Jusuf Kalla mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI periode 2019-2024, sehingga kemudian mekanisme penggantian Wakil Presiden RI dapat dijalankan sesuai mekanisme yang sudah diatur dalam konstitusi UUD 45 paska amandemen keempat.

Aspek penting kedua, yaitu adanya diskursus di kalangan elite politik tentang aturan hukum dalam konstitusi terkait pencalonan kembali Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden RI untuk yang ketiga kalinya (yang kedua secara berturut-turut). Mengikuti kaidah aturan dalam UUD 45 pasal 7 paska amandemen keempat, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Terkait hal ini, perlu diingat selalu bahwa konsep hukum dalam aturan perundang-undangan apalagi menyangkut hukum dasar suatu negara (konstitusi), pasti ada harmonisasi dan kesatuan pikiran antara semua norma dalam setiap pasalnya.

Jika kita ikuti pokok pikiran, aturan dan norma dalam pasal 7, kemudian kita tautkan dengan aturan dalam pasal 6A ayat 1, yaitu “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, maka sangat jelas dan tegas terkandung pemikiran dan aturan bahwa yang dipersyaratkan dalam konstitusi UUD 45 adalah periode jabatan sebagai satu paket secara bersamaan antara Presiden dan Wapres, artinya orang yang sama dalam 2 periode yang berurutan. Sudah tentu logika hukum dan interpretasi hukum tentang satu kesatuan yang utuh dalam konstitusi UUD 45 ini juga yang wajib digunakan oleh para hakim Mahkamah Konstitusi (MK), jika Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla memilih untuk meminta fatwa kepada Mahkamah Konstitusi terkait keabsahan dan legalitas syarat pencalonan kembali Jusuf Kalla menjadi Cawapres mendampingi Jokowi.

Pada sisi lain, masih ada celah hukum yang sangat unik dan langka yang juga bisa dijalankan sebagai alternatif solusi. Jika ternyata Mahkamah Konstitusi memberi putusan sebaliknya, keluar dari logika hukum dan interpretasi hukum di atas, dengan menyatakan bahwa Jusuf Kalla tidak memungkinkan lagi mengikuti Pilpres 2019 karena aturan dalam konstitusi kita yaitu pasal 7 UUD 45. Terkait dengan ini, maka sah-sah saja dan merupakan hak konstitusional Wakil Presiden Jusuf Kalla jika kemudian menjalankan langkah taktis dengan menyampaikan pengunduran dirinya dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI dengan berbagai alasan strategis, sebelum pendaftaran Capres dan Cawapres bulan Agustus nanti, sehingga aturan 2 periode menjabat jadi Wapres seketika tidak terpenuhi lagi, karena periode kedua ini tidak selesai secara utuh selama 5 tahun dijalankan olehnya. Bahkan jauh lebih taktis lagi, tetap sah juga secara hukum jika pada saat pendaftaran Capres dan Cawapres bulan Agustus nanti, Wapres Jusuf Kalla menyampaikan surat pernyataan bahwa akan mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI persis 1 bulan sebelum pelaksanaan Pilpres 2019 tahun depan.

Secara rasional adanya pilihan langkah taktis ini, ikut memperkuat logika dan interpretasi hukum terkait diskursus sah tidaknya Jusuf Kalla untuk maju lagi sebagai Cawapres dalam Pilpres 2019. Penyebabnya adalah karena masih sangat panjangnya interval waktu pendaftaran Capres dan Cawapres pada bulan Agustus 2018 ini, dengan pelaksanaan Pilpres pada pertegahan tahun 2019 yang akan datang. Tidak dapat kita bayangkan, jika Mahkamah Konstitusi ternyata memberi fatwa (pendapat) hukum, bahwa berdasarkan konstitusi UUD 45 paska amandemen keempat, Jusuf Kalla tidak bisa maju lagi sebagai Cawapres mendampingi Capres Jokowi, sementara pada penghujung masa jabatannya Jusuf Kalla mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI.

Artinya Mahkamah Konstitusi telah ‘off side’ jika mengeluarkan fatwa (pendapat) hukum tidak membenarkan Jusuf Kalla untuk maju lagi sebagai Cawapres bagi Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019 tersebut. Karena tidak terbukti bahwa Jusuf Kalla sudah memenuhi kriteria telah menjabat sebagai Wakil Presiden RI dalam 2 (dua) periode secara penuh dan utuh. Logika ‘off side’ yang sama juga akan dialami oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) apabila KPU menolak pendaftaran Jusuf Kalla sebagai Cawapres dalam batas akhir pendaftaran bulan Agustus 2018 nanti, karena hanya mengacu pada persyaratan yang masih ‘multi interpretatif’, yakni Jusuf Kalla sudah 2 (dua) periode menjadi Wakil Presiden RI. Jika KPU menyampaikan alasan hukum penolakannya karena mengacu pada Undang-Undang Pemilu dan Pilpres 2017, maka logika dan interpretasi hukum yang telah diuraikan diatas, bisa menjadi bukti dan dasar hukum yang kuat bagi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan aturan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, karena bertentangan dengan hukum dasar yang menjadi dasar pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara Kita yaitu UUD 1945.

Jika berbagai opsi tersebut berjalan, maka secara otomatis implikasi hukumnya Jusuf Kalla bisa maju kembali mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019 tanpa ada ganjalan aturan hukum apapun lagi. Fenomena ini juga menunjukkan dan menjadi bukti nyata, bahwa masih banyak kerancuan dan celah hukum rezim yang mengatur sistim Pemilu dan Pilpres serentak, baik dalam konstitusi UUD 45 paska amandemen keempat, maupun dalam peraturan perundang-undangan pendukungnya di negara Kita.

Sebagai catatan penutup, Insya Allah secara pribadi saya tidak memiliki konflik kepentingan apapun terkait pencalonan kembali Jusuf Kalla sebagai Cawapres untuk mendampingi Presiden Jokowi. Bahkan setahu saya sampai detik ini, Jusuf Kalla juga masih belum bersedia untuk maju lagi dan berharap adanya suksesi dengan munculnya generasi penerus untuk tampil ke depan.

Mungkin hanya kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa melalui Presiden Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, yang bisa meluluhkan hati Jusuf Kalla untuk bersedia maju lagi mendampingi Presiden Jokowi. Semua kajian ini semata-mata hanya menyampaikan pemikiran yang rasional, realistis dan konstruktif, demi masa depan bangsa dan negara kita tercinta.

Siapapun yang akan terpilih dalam Pilpres 2019 nanti, tentunya harapan kita seluruh bangsa Indonesia sama, semoga yang akan terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 adalah sosok pemimpin bangsa dan negara yang sungguh-sungguh berkarya dan berbuat yang terbaik, agar cita-cita dan tujuan bangsa dan negara kita menjadi negeri yang aman, damai, adil dan makmur segera terwujud.

Penulis adalah Pendiri Perhimpunan Negarawan Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA