Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keadilan Sosial Semakin Jauh, Siapa Anti-Pancasila?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Kamis, 01 Juni 2017, 12:52 WIB
Keadilan Sosial Semakin Jauh, Siapa Anti-Pancasila?
Ilustrasi/Net
"PANCASILA itu jiwa dan raga kita. Ada di aliran darah dan detak jantung kita, perekat keutuhan bangsa dan negara. Saya Jokowi, Saya Indonesia, Saya Pancasila. Kalau kamu?"

Kalimat di atas dikutip dari status Presiden Joko Widodo dalam akun Instagramnya yang dimuat dua hari lalu (Selasa, 30/5). Presiden juga mengunggah video yang berisi pernyataannya seperti di atas.

Presiden Jokowi memang cukup serius dalam mengajak masyarakat Indonesia dalam menjiwai dan melaksanakan Pancasila. Keseriusan tersebut antara lain dia tunjukkan dengan meneken Keputusan Presiden 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila.

Keppres tersebut memuat tiga poin. Yaitu, menetapkan tanggal 1 Juni  1945 sebagai Hari Lahir Pancasila; tanggal 1 Juni merupakan hari libur nasional; dan Pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni.

Yang terbaru pada 19 Mei 2017 lalu, dia menandatangani Peraturan Presiden 54/2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. UKP-PIP ini mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Jokowi juga tidak hanya mengimbau, dan mengajak, tapi juga mengancam. Dia akan membubarkan organisasi kemasyarakatan yang tidak sejalan dengan Pancasila.

Kesungguhan Presiden layak diapresiasi dan didukung. Masyarakat diharapkan mengerti sesungguhnya apa makna Pancasila dan melaksanakannya.

Namun yang paling penting lagi, Pemerintah benar-benar menjalankan sila-sila yang termuat dalam Pancasila tersebut. Karena kalau tidak, masyarakat bisa protes dan Pemerintah dicap munafik.

Terkait penertiban Perpres UKP-PIP itu pula, Majalah Tempo dalam rubrik Tempo Doeloe edisi 1 Januari 2017 lalu, mengingatkan demikian. Lewat judul "Pisau Bermata Dua" yang diangkat Tempo pada 11 Agustus 1979 lalu, disebutkan bagaimana pengakuan Ketua Tim Penasihat Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P7), Roeslan Abdulgani.

"Jadi penataran ini terkadang lebih merupakan pisau bermata dua. Bukan masyarakat saja yang digugah menghayati dan mengamalkan Pancasila, tapi masyarakat sendiri-dengan pisau pandangan itu-bisa tertuju kepada aparat Pemerintah," katanya.

Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Abdullah mengamini. Di kolom yang sama di majalah tersebut, dia menjelaskan semakin tahu arti dan makna Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4), masyarakat bisa frustasi. Karena kenyataan yang terjadi di masyarakat tidak cocok dengan nilai-nilai luhur dalam P4. Atau mungkin malah menjadi munafik.

Karena itulah, menurut saya, Presiden Jokowi harus memastikan Pemerintahannya benar-benar telah melaksanakannya, terutama sila kelima. Karena mengutip buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Sila Keadilan Sosial merupakan perwujudan paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila.

Disebutkan juga, bahwa sila kelima itu juga satu-satunya sila Pancasila yang dilukiskan dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menggunakan kata kerja mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila kelima ini semakin penting untuk diperhatikan karena ketimpangan sosial di masyarakat kian tajam. Seperti dilansir Lembaga Oxfam pada Februari lalu, total harta empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Pada 15 Desember 2015 lalu sebelumnya, Bank Dunia merilis bahwa sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.

Prof. Amien Rais pernah menyebutkan sektor ekonomi penting telah berada di tangan asing dan aseng. Sejak dari sektor properti, perbankan, pertambangan, pertanian, kehutanan, sampai perkebunan, dan lain-lain, sudah tidak lagi di tangan anak-anak bangsa.

Rakyat Indonesia boleh jadi hanya tinggal memiliki air mata, seperti yang dialami Jaka, tokoh dalam puisi Denny JA "Tapi Bukan Punya Kami" yang belakangan ini kerap dibacakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Malah, karena keadilan belum tegak dan kesenjangan sosial tajam sekali, Buya Ahmad Syafii Maarif mengungkapkan sila kelima Pancasila sudah menjadi yatim piatu sejak awal kemerdekaan.

Ketimpangan sosial ini harus menjadi perhatian serius Presiden. Tak cukup hanya membagikan lahan hutan kepada rakyat dan mendesak para taipan untuk bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan. Bahkan bila perlu mengambil langkah radikal dan revolusioner.

Yaitu, mengkaji harta kekayaan atau penguasaan sektor ekonomi oleh segelintir orang-orang kaya tersebut. Apalagi kalau memang didapat dengan cara melanggar aturan, harus ditarik oleh negara.

Bahkan beberapa waktu lalu, Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas ketika mengomentari data Bank Dunia di atas meminta Pemerintah mengambil sebagian besar tanah yang dikuasai konglomerasi di Indonesia dan membagikan kepada kelompok masyarakat miskin.

Karena tak ada alasan korporasi menguasai tanah jutaan hektar. Dia menyontohkan Sinar Mas yang memiliki 5 juta hektar tanah.

Presiden Jokowi sangat memungkinkan untuk mengambil langkah-langkah revolusioner tersebut. Sebab dia sudah terbukti mempunyai mental untuk itu. Mengingat gencarnya dia mengkampanyekan revolusi mental.

Presiden harus melakukannya sebelum terlambat, seiring semakin gencarnya diseminasi nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat. Masyarakat bisa marah, memberontak dan mencari jalan keadilian sosial sendiri kalau tahu dan sadar bahwa ketimpangan sosial ternyata bertentangan dengan Pancasila. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA