Masalah perlu tidaknya verifikasi ini telah menjadi bahan perdebatan menjelang Pemilu 2014. Waktu itu, Pasal 8 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD mengatur bahwa partai-partai yang lolos ambang batas (Parliementary Treshold atau PT) langsung ikut Pemilu 2019, sedang partai yang tidak lolos PT wajib mengikuti verifikasi lebih dahulu untuk memastikan memenuhi syarat administrasi, kepengurusan dan keanggotaan atau tidak.
Pengaturan verifikasi yang sengaja dibikin sulit itu dilakukan sebagai akal/akalan Pemerintah dan DPR untuk membatasi peserta Pemilu. Skenarionya, Pemilu 2014 hanya akan diikuti oleh 10 partai yang ada di DPR saat itu dan menutup kesempatan partai lain ikut Pemilu 2014. Ini adalah contoh buruk dari pembentuk UU yang tidak fair dengan cara memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki.
Karuan saja pengaturan seperti itu ditentang oleh partai-partai yang berada di luar DPR. PBB memelopori uji materil ke MK dan diikuti oleh 18 partai lain yang ikut memberi kuasa kepada Tim Hukum PBB. Partai-partai ini memohon agar partai-partai yang sudah resmi terdaftar sebagai badan hukum Kemenkumham langsung saja daftar dan ikut Pemilu tanpa harus verifikasi. Bukankah verifikasi juga sudah dilakukan ketika partai-partai itu ingin memperoleh pengesahan sebagai badan hukum. Jadi untuk apa lagi verifikasi untuk ikut Pemilu?
Selain argumen di atas, verifikasi juga dianggap diskriminasi terhadap partai-partai yang lolos PT dengan partai tidak lolos PT dan partai-partai baru. Diskriminasi dan perlakuan tidak adil seperti itu bertentangan dengan UUD 45. Karena itu, para pemohon berpendapat cukup alasan bagi MK untuk membatalkan pasal-pasal tentang verifikasi bagi partai yang tidak lolos PT dan partai-partai baru. Asal partai sudah terdaftar sebagai badan hukum, partai itu berhak untuk ikut Pemilu, tanpa harus mengikuti verifikasi.
MK dalam putusannya menyatakan bahwa agar asas keadilan ditegakkan, maka bukan saja partai baru dan partai tidak lolos PT wajib ikut verifikasi, tapi semua parpol termasuk 10 partai yang lolos PT Pemilu 2009 dan ada di DPR wajib ikut verifikasi. Keputusan ini menjadi senjata makan tuan bagi Pemerintah dan 10 partai yang ada di DPR waktu itu. Mereka sendiri kalang kabut menghadapi verifikasi.
Partai Golkar misalnya, harusnya tidak lolos verifikasi, karena status Sekretariat DPP Golkar di Slipi, Jakarta, adalah milik Sekretariat Negara, bukan kepunyaan Golkar. Lahan dan gedung itu tidak pernah diperjual-belikan, dihibahkan, disewakan atau secara resmi "dipinjam-pakaikan" oleh Sekneg kepada DPP Golkar sejak zaman Orba sampai tahun 2004 itu. Entahlah sekarang.
Mungkin kapok menghadapi verifikasi, akhirnya 10 partai yang ada di DPR sekarang ini sepakat dengan Mendagri Tjahjo bahwa partai yang ikut Pemilu 2014 tidak perlu verifikasi, tapi langsung saja daftar ikut Pemilu 2019. Kesepakatan ini tentu menyisakan persoalan bagi partai baru yang belum ikut dalam Pemilu 2014.
Kesepakatan Pemerintah dan DPR bahwa partai peserta Pemilu 2014 otomatis ikut Pemilu 2019 ini dipersoalkan oleh sejumlah kalangan, seperti oleh LSM Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat dan bahkan oleh Ketua KPU Yuri Ardiantono (
Tempo Online (1/4)).
Alasan mereka, kesepakatan Mendagri dengan DPR itu bertentangan dengan Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012 yang mewajibkan semua partai yang akan ikut Pemilu 2019 wajib diverifikasi. Ketua KPU malah mempertanyakan apakah KPU bisa melaksanakan kesepakatan yang bertentangan dengan Putusan MK.
Kalau dicermati dengan seksama, putusan MK yang mewajibkan semua parpol wajib diverifikasi kalau mau ikut Pemilu, latar belakangnya adalah ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan ketidaksamaan kedudukan di dalam hukum yang dipandang oleh MK bertentangan dengan UUD 45. Partai yang lolos PT Pemilu 2009 langsung ikut Pemilu, sedangkan yang tidak lolos PT wajib diverifikasi.
Pengaturan Pasal 8 UU Pemilu yang seperti di atas itulah yang dianggap bertentangan dengan asas kesetaraan, asas keadilan dan persamaan kedudukan di dalam hukum. Karena itu, MK memutuskan demi kesetaraan, keadilan dan persamaan kedudukan di dalam hukum, maka semua partai, baik yang lolos PT maupun tidak lolos PT dalam Pemilu 2009 wajib diverifikasi kalau ingin ikut Pemilu 2014 dahulu.
Jadi esensi dari Putusan MK dalam menguji UU Pemilu di atas adalah adanya pertentangan norma antara norma UU dengan norma dasar dalam Konstitusi, sehingga norma UU itu beralasan hukum untuk dibatalkan. Jadi putusan MK itu tidak ada hubunganya dengan "kesiapan pemenangan sebuah partai dalam ikut pemilu" sehingga wajib verifikasi seperti dikatakan Koordinator Nasional Jaringan Pemilih Untuk Rakyat, Masykurudin Hafidz dan "diaminkan" oleh Ketua KPU Yuri Ardiantoro.
Soal siap atau tidak siap sebuah parpol untuk menang Pemilu adalah persoalan politik masing-masing partai yang tidak ada hubungannya dengan pertentangan norma UU dengan norma konstitusi.
Jadi, kesepakatan Pemerintah dengan DPR tentang tidak perlunya verifikasi bagi peserta Pemilu 2014 untuk ikut Pemilu 2019 tidaklah bertentangan dengan asas kesetaraan, keadilan, dan persamaan di hadapan hukum sebagaimana diatur dalan UUD 45.
Hal yang sama juga berlaku, jika seandainya Pemerintah dan DPR sepakat untuk mewajibkan semua partai yang ikut Pemilu 2014 untuk wajib ikut verifikasi terlebih dahulu sebelum jadi peserta Pemilu 2019. Karena kesepakatan seperti itupun memenuhi asas kesetaraan, keadilan, dan persamaan di hadapan hukum.
Mengenai partai yang baru yang telah memperoleh status badan hukum dan pertama kali ikut Pemilu tahun 2019 nanti, hemat saya mereka juga tidak perlu verifikasi. Sebab, jika diwajibkan, maka potensi untuk dikatakan adanya aturan yang melanggar kesetaraan, keadilan, dan kesamaan kedudukan di dalam hukum akan tetap ada.
Jika ini mereka bawa ke MK, maka ada kemungkinan MK akan kembali pada Putusan Nomor 52/PUU-X/2012, sehingga partai manapun yang mau ikut Pemilu 2019, wajib verifikasi. Dan ini justru merepotkan bagi semua.
[***]
Penulis adalah pakar hukum tata negara, yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB)
BERITA TERKAIT: