Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (PB HMI) mengapresasi langkah pemerintah, melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menekan PTFI untuk tidak meributkan regulasi terkait perubahan status dari Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK. Karena kewajiban bagi siapapun yang berinvestasi dalam negeri untuk mematuhi hukum nasional Indonesia.
"PT. Freeport Indonesia mestinya tahu diri bahwa dengan kurang lebih 25 tahun beroperasi di Indonesia dengan kontribusi yang tidak signifikan untuk Indonesia mestinya mengikuti apa yang menjadi keinginan Indonesia," Ketua PB HMI Bidang Agraria dan Kemaritiman, Mahyudin Rumata dalam keterangan tertulisnya.
Mahyudin menjelaskan, semenjak menambang emas di Indonesia berdasarkan KK perpanjangan pada tahun 1991, Freeport hanya membayar royalti emas kepada Indonesia sebesar satu persen hingga kini. Padahal jika mengacu pada PP No.45 Tahun 2003 tentang PNBP, seharusnya 3,75 persen harga jual kale tonase.
Sudah begitu, sejak masuk ke tanah Papua berdasarkan KK generasi pertama tahun 1967, Freeport melaporkan pihaknya hanya menambang tembaga. Faktanya pada tahun 1978 Freeport ketahuan selain mengekspor tembaga, juga mengekspor emas.
Mahyudin menghitung, jika menggunakan rumus probabilitas, membandingkan royalti emas satu persen dengan royalti emas 3,75 persen semenjak 2003 hingga 2010 maka kerugian negara mencapai 256.179.405 dolar AS. Kerugian negara tersebut diperoleh dari total royalti emas 3,75 persen (2003-2010) di kurangi total royalti satu persen (2003-2010).
Selain negara dirugikan, menurut Mahyudin, kehadiran Freeport menjadi salah satu biang konflik agraria dan sumber masalah di Indonesia. Potensi konflik akibat dari penguasaan tanah untuk kepentingan pertambangan, tak hanya melibatkan beberapa pihak namun telah merangsek ke sendi-sendi kehidupan sosial lainnya.
"Problem lain yang hingga kini belum selesai dengan kehadiran PTFI adalah masyarakat adat setempat (Amungme, Kamoro, Damal, Dani, Moni, Ekari dan Nduga) tidak mengetahui persis tapal batas wilayah konsesi PT. Freeport," paparnya.
Hal ini telah menyebabkan terjadinya sengketa antara masyarakat yang sedang berburu di wilayah adat yang menjadi basia klaim. Namun juga diklaim oleh Freeport sebagai wilayah konsesi. Sejatinya, jelas Mahyudin, sebagai pemilik hak atas tanah dan sumberdaya alam mereka berhak mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan kehadiran Freeport sesuai semangat FPIC.
"Daripada kehadirannya menambah panjang problem keagrarian, alangkah baiknya PT. Freeport Indonesia segera angkat kaki dari Indonesia," tegas Mahyudin.
[wid]
BERITA TERKAIT: