Hal tersebut, sambung Samad, merujuk pada pengalamannya saat menjabat sebagai ketua KPK jilid III. Kala itu, dirinya telah berkomitmen untuk memberantas korupsi yang beresiko menyentuh kepentingan pihak lain.
"Saya juga sempat bertanya, kenapa nggak ada perlindungan maksimal kepada pimpinan KPK, karena yang paling beresiko adalah pimpinan KPK. Gubernur seperti Ahok atau Presiden nggak perlu, karena nggak ada yang mau bunuh," kata dia dalam seminar Nasional Pemberantasan Korupsi bertajuk 'Peran Penegak Hukum dalam Memberantas Korupsi' di Balai Sidang Univesitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Sabtu (12/11).
Lebih lanjut, Samad menilai, ancaman yang mengalir kepada pimpinan KPK bisa saja berhenti, bahkan tidak datang, jika saat menjalankan kepemimpinan dilakukan secara normatif. Semisal, dalam kasus dugaan suap pengamanan perkara pelecehan seksual anak di bawah umur dengan terdakwa pedangdut Saipul Jamil, KPK hanya membatasi penyidikan sampai di panitera dan tidak sampai ke majelis hakim yang memimpin perkara.
Meski demikian, menurut Samad, hal tersebut sama saja dengan menghianati amanat rakyat yang diberikan kepada pimpinan KPK.
"Kalau anda biasa-biasa saja memberantas korupsi, anda pasti keluar dari KPK biasa-biasa saja (tanpa ancaman). Tapi kalau anda nggak pandang bulu berantas korupsi, anda pasti dikriminalisasi seperti saya," ujarnya.
"Anda harus melakukan lompatan walau konsekuensi anda bisa dikriminalisasi. Kalau anda mau turun ketua KPK tidak ada, jadilah komisioner KPK yang biasa saja, menjadi anak manis. Saya tidak memilih jalan itu, saya akan jalankan amanat rakyat," tutup Samad menambahkan.
[rus]
BERITA TERKAIT: