"Putusan MK ini kami apresiasi dan merupakan kemenangan besar petani," ujar Wakil Ketua Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Bidang Politik dan Jaringan, Ridwan Darmawan, dalam perbincangan dengan
Kantor Berita Politik RMOL kemarin.
IHCS merupakan satu dari 15 badan hukum privat yang mengajukan gugatan terhadap UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Putusan MK dibacakan Rabu (5/11) lalu. Adapun badan hukum lain yang mengajukan gugatan diantaranya Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Dalam putusannya MK mengabulkan sebagian besar permohonan pemohon, yakni bahwa hak sewa negara kepada petani sebagaimana disebut Pasal 59 UU Nomor 19 tahun 2013 bertentangan dengan konstitusi dan merupakan produk politik hukum Hindia Belanda. Sementara Pasal 70 dalam Undang-undang tersebut, menurut MK, bertentangan dengan UUD 1945, dimana negara tidak boleh menghalangi para petani untuk membentuk dan aktif dalam organisasi yang didirikan dari, oleh, dan untuk petani.
Meski demikian, kata Ridwan, pihaknya tetap menyayangkan putusan MK ini, terutaman terkait pendapat MK tentang hak milik bagi petani. Dia menilai MK tidak berani membuat putusan yang tegas dan terobosan hukum terkait problem utama petani penggarap adalah tidak adanya lahan yang mereka miliki. Padahal, UU Pokok Agraria dan Pasal 33 UUD 45 dengan tegas mengamanatkan negara untuk melaksanakannya.
"Ini sangat kami sayangkan. Redistribusi lahan adalah bentuk paling ideal dari tujuan pokok perlindungan dan pemberdayaan petani sebagaimana dimaksudkan UU tersebut," demikian Ridwan.
[dem]
BERITA TERKAIT: