Ketika Hukum Jadi Alat Pencitraan

Senin, 29 Desember 2025, 03:02 WIB
Ketika Hukum Jadi Alat Pencitraan
Presiden Prabowo Subianto di Kejagung, Jakarta, Rabu 24 Desember 2025 (Foto: RMOL/Hani Fatunnisa)
KEHADIRAN Presiden Prabowo Subianto di Gedung Kejaksaan Agung, didampingi Menteri Keuangan dan Menteri Pertahanan, dalam seremoni penyerahaan uang sitaan senilai Rp6,6 triliun memang dapat dimaknai sebagai penegasan komitmen negara dalam pemberantasan korupsi dan pemulihan aset negara.

Namun di balik seremoni itu, terdapat sejumlah persoalan serius yang patut dikritisi secara jernih dan tegas.

Pertama, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dituntut jarak yang jelas antara kekuasaan politik dengan penegakan hukum. 

Kejaksaan Agung, meskipun berada dalam rumpun eksekutif, dalam menjalankan tugasnya harus bebas dari pengaruh politik praktis. 

Ketika Presiden hadir langsung dalam momen yang berkaitan dengan perkara hukum, muncul risiko persepsi bahwa proses penegakan hukum tidak sepenuhnya berdiri di atas independensi, melainkan berada dalam bayang-bayang legitimasi kekuasaan. 

Kedua, penegakan hukum direduksi menjadi seremoni. Pemulihan aset negara memang penting, tetapi hukum pidana korupsi tidak berhenti pada angka triliunan rupiah yang terlihat di depan kamera. 

Publik dapat bertanya, apakah seluruh aktor utama telah dimintai pertanggungjawaban? Apakah proses hukum berlangsung transparan, konsisten, dan tanpa kompromi? 

Bagaimana dengan Silfester Matutina yang tidak juga ditangkap meskipun sudah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap? Ketika fokus dipindahkan ke seremoni penyerahan uang, substansi penegakan hukum yakni keadilan, efek jera, dan pembenahan sistem, berisiko tenggelam.

Ketiga, kehadiran Menteri Pertahanan dalam agenda penegakan hukum sipil dapat menimbulkan tafsir keliru. Tidak ada urgensi konstitusional yang menjelaskan mengapa urusan pemulihan aset korupsi perlu disertai figur Menteri Pertahanan. 

Di negara demokratis, simbol militer atau pertahanan justru harus dijauhkan dari urusan penegakan hukum sipil, agar tidak tercipta kesan bahwa negara bergerak dengan logika kekuasaan, bukan supremasi hukum.

Keempat, peristiwa ini mencerminkan kecenderungan populisme hukum. Hukum dipakai sebagai panggung legitimasi politik. Penegakan hukum seolah baru dianggap bernilai ketika disaksikan langsung oleh Presiden. 

Padahal, ukuran keberhasilan pemberantasan korupsi bukanlah kehadiran kepala negara, melainkan konsistensi sistem, bahkan ketika tidak ada kamera, tidak ada pidato, dan tidak ada seremoni.

Kelima, pesan yang salah kepada aparat penegak hukum. Jika simbol politik menjadi bagian dari proses hukum, aparat berpotensi membaca sinyal bahwa perkara besar harus "selaras" dengan narasi kekuasaan. 

Hal ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan di depan hukum, yang menuntut agar hukum bekerja dalam dingin, sunyi, dan mandiri, bukan demonstratif.

Kritik ini bukan penolakan terhadap agenda pemberantasan korupsi, melainkan peringatan keras agar negara tidak menjadikan hukum sebagai alat pencitraan. 

Presiden tidak perlu hadir di ruang-ruang penegakan hukum untuk menunjukkan komitmen. Justru dengan menjaga jarak, menjamin independensi, dan memastikan sistem berfungsi tanpa intervensi secara simbolik, komitmen itu akan jauh lebih bermakna. Terkait hal ini Presiden Prabowo sebaiknya meneladani Jokowi.

Dalam negara hukum, keadilan tidak memerlukan panggung. Ia hanya membutuhkan keberanian untuk konsisten, bahkan ketika tidak disaksikan siapa pun.rmol news logo article

Hamdi Putra
Forum Sipil Bersuara (FORSIBER) 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA