Di sinilah arsip memegang peran kunci: bukan hanya sebagai kumpulan dokumen administratif, tetapi sebagai fondasi ingatan kolektif bangsa.
Tanpa arsip yang terbuka, terawat, dan dibaca secara kritis, sejarah mudah berubah menjadi narasi tunggal.
Dalam praktik historiografi, jejak-jejak sejarah disusun dari arsip negara, arsip kolonial, catatan institusional, hingga memori sosial yang hidup di tengah masyarakat.
Arsip menyediakan bukti, konteks, dan kesinambungan. Namun, dalam perjalanan pascareformasi, relasi antara arsip dan penulisan sejarah nasional kerap timpang: pusat mendominasi, daerah terpinggirkan, dan narasi resmi sering kali mengalahkan pengalaman lokal yang majemuk.
Kebijakan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait proyek peninjauan kembali penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia yang diumumkan pada 26 Mei 2025 dimaksudkan untuk mengoreksi bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia-sentris.
Dalam kerangka itu, arsip ditempatkan sebagai ingatan bangsa, bukan sekadar alat legitimasi negara.
Gagasan ini penting. Namun, keberhasilannya sangat ditentukan oleh cara arsip diperlakukan dan siapa saja yang dilibatkan dalam proses penulisan.
Secara konseptual, arsip merupakan rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk: tertulis, lisan, visual, maupun digital, yang dibuat atau diterima oleh lembaga, organisasi, atau individu sebagai bukti autentik pelaksanaan fungsi dan kebijakan.
Arsip memiliki nilai pembuktian karena sifatnya yang autentik, utuh, dan tepercaya. Ia bukan hanya sumber sejarah, tetapi juga penyangga akuntabilitas publik.
Masalahnya, arsip daerah masih menghadapi tantangan struktural serius: keterbatasan anggaran, minimnya tenaga arsiparis, infrastruktur penyimpanan yang rentan, serta rendahnya akses dan digitalisasi.
Akibatnya, banyak arsip daerah tercecer, rusak, atau tidak terkelola. Relasi kuasa pengetahuan turut memperparah keadaan, ketika arsip daerah dianggap kurang penting dibanding arsip pusat.
Padahal, tanpa arsip daerah, sejarah Indonesia kehilangan kedalaman spasial dan temporal, lalu menjelma menjadi cerita tunggal yang menutupi pluralitas.
Peluncuran buku sejarah versi pemerintah pada 14 Desember 2025 sebagaimana dilaporkan
Tempo, menandai fase baru penulisan sejarah nasional.
Buku yang terdiri dari 10 jilid ini direncanakan menjadi acuan pembelajaran di sekolah, meskipun pemerintah masih membutuhkan waktu untuk mengintegrasikannya ke dalam kurikulum.
Momentum ini seharusnya dibaca sebagai peluang integrasi sumber, bukan penyeragaman narasi.
Integrasi arsip pusat dan daerah berarti membangun dialog antarsumber: kebijakan nasional diuji melalui praktik lokal, sementara pengalaman daerah memperkaya narasi kebangsaan.
Buku sejarah yang relevan hari ini perlu mengakui ketegangan, perbedaan, bahkan kontradiksi.
Di sinilah metodologi sejarah bekerja melalui tahapan heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi, untuk menghasilkan penulisan yang sahih, objektif, dan bertanggung jawab secara ilmiah.
Tanpa kolaborasi antara sejarawan dan arsiparis, kurasi lintas wilayah, serta keterbukaan pada arsip non-negara: arsip komunitas, tradisi lisan, dan arsip digital, penulisan ulang berisiko hanya memperbarui kemasan, bukan memperbaiki substansi. Sejarah bukan monopoli negara.
Ia hidup di keluarga, kampung, museum, dan ruang publik. Ketika sejarah direduksi menjadi narasi resmi, pengalaman kelompok marjinal paling rentan terhapus.
Kontroversi yang mengiringi proyek ini, termasuk kekhawatiran politisasi sejarah, pengaburan tragedi pelanggaran HAM, dan pemutihan citra rezim tertentu, menunjukkan pentingnya jarak kritis antara kekuasaan dan penulisan sejarah.
Kritik publik tidak diarahkan pada pembaruan itu sendiri, melainkan pada kecenderungan sentralisasi tafsir dan potensi seleksi ideologis atas sumber.
Sejarah yang ditulis dari atas, tanpa transparansi metodologis dan partisipasi luas, rawan menjadi alat legitimasi.
Lebih jauh, pengabaian terhadap arsip daerah dan memori korban justru berpotensi memperdalam luka.
Pembaruan sejarah seharusnya membuka arsip, mendukung riset independen, memperkuat lembaga kearsipan daerah, dan melibatkan publik secara bermakna.
Negara berperan sebagai fasilitator ekosistem pengetahuan, bukan pengendali tafsir.
Sejarah Indonesia yang matang lahir dari pertemuan arsip pusat dan daerah, dari dialog antara dokumen dan ingatan.
Pembaruan buku sejarah hanya bermakna jika memperluas ruang suara, memperkuat etika ilmiah, dan menolak politisasi.
Arsip bukan sekadar dokumen; ia adalah memori bangsa. Menjaganya berarti menjaga hak masyarakat atas masa lalu yang jujur, beragam, dan bertanggung jawab.
Mangir TitiantoroArsiparis, Humas, dan Pengurus Museum Mulawarman, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur
BERITA TERKAIT: