Di dalam setiap tulisan secara umum terkandung harapan agar Indonesia yang merupakan negara maritim terbesar di dunia kembali ke puncak kejayaan. Juga harapan agar pemerintah memiliki keseriusan dalam membangun dan mengelola laut nusantara.
Demikian disampaikan Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) Putut Prabantoro dalam perbincangan dengan redaksi. Putut adalah editor dari buku setebal 247 halaman itu.
Ke-30 jurnalis yang menuliskan pokok-pokok pikiran dan renungan mereka itu adalah Primus Dorimulu (Pemred
Suara Pembaruan dan
Investor Daily), Pieter P. Gero (Redaktur Ekonomi
Harian Kompas), Achmad Subechi (Pemred
Tribun Kaltim), Teguh Santosa (Pemred
Rakyat Merdeka Online/RMOL), Dodi Sarjana (Pemred
Tribun Pekanbaru), Gaudensius Suhardi (Kadiv Content Enrichment
Media Indonesia), Kornelius Purba (Senior Managing Editor
The Jakarta Post), Marcel Kelen (Wartawan
Antara di Papua), Ahmad Basori (Pemred
Harian Pelita), Rafael Don Bosco (Wartawan
Indosiar), Dion DB Putra (Pemred
Harian Pos Kupang), Ivan Rishky Kaya (Ketua Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional, Ambon), Astriyadi Alexander Mering (Redaktur
Borneo Tribune, Pontianak) dan Richard Nainggolan (Pemred
Tribun Manado).
Selain itu tercatat juga, Tri Agung Kristanto (Redaktur Politik dan Hukum
Harian Kompas), Abdul Haerah (Pemred
Tribun Medan), Yusran Pare (Pemred
Banjarmasin Post), GA Guritno (Redaktur
Majalah Gatra), Iman Suryanto (Wartawan
Tribun Batam), Algooth Putranto (Wartawan
Bisnis Indonesia), Rahdini Ikaningrum (Reporter
MetroTV), Donatus Budiono (Redpel
Pontianak Pos), Julius Jera Rema (Wartawan
Investor Daily), Koesworo Setiawan (Kepala
Jurnas.Com), Rosmery Sihombing (Askadiv Pemberitaan
Media Indonesia), Willy Masaharu Indracahya (Wartawan
Suara Pembaruan), Ardianto BS (Producer
News Trans7), Agapitus Batbual (Wartawan
Suara Perempuan Papua di Merauke), Maurits Sadipun (Redaktur
Timika Ekspress) dan Hadmarus Waka (Wartawan
Harian Bintang Papua, Jayapura, Biro Timika).
Ide penulisan dan penerbitan buku itu, sebutnya, berasal dari Laksdya TNI Yosaphat Didik Heru Purnomo yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Pelaksana harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Republik Indonesia. Didik kerap melibatkan jurnalis dalam perjalanannya ke titik-titik terdepan Indonesia di perairan nusantara.
“Baik atau buruk pandangan watawan tentang pengelolaan laut Indonesia adalah sumbangsih yang tidak kecil bagi terbangunnya kembali kejayaan bahari Indonesia. Mereka (wartawan) memiliki media yang dapat mempercepat terbangunnya kembali kejayaan bahari Indonesia yang pernah kita dengar ratusan tahun lalu,†demikian tulis Didik Heru Purnomo dalam pengantarnya di halaman 23.
Menkopolhukam Marsekal TNI (Purn.) Djoko Suyanto, Menhan Purnomo Yusgiantoro dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menuliskan kata pengantar untuk buku itu. Selain mereka, pengantar juga dituliskan Franciscus Welirang yang mewakili pengusaha, antan Wakasad Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Kepala BP Migas R. Priyono dan pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng KH Salahuddin Wahid, serta Sekretaris Kalakhar Bakorkamla RI Dicky R Munaf.
“Buku itu dibuat untuk memperingati 500 tahun jatuhnya Malaka dan Singapura (Tumasik) yang dulu merupakan pulau terluar Kerajaan Sriwijaya (Kerajaan Singosari, Majapahit dan Demak) ke tangan Portugis pada tahun 1511. Sejak kejatuhan itu, nusantara kehilangan kontrol atas lautnya selama 424 tahun,†ujar Putut.
“Sayangnya Malaka dan Singapura tak kembali menjadi bagian nusantara sejak 17 Maret 1824 ketika Traktat London ditandatangani Belanda dan Inggris untuk tukar guling antara Tumasik (Singapura) dan Bengkulu,†sambungnya.
Putut juga mengatakan bahwa buku itu adalah mimpi Didik Heru Purnomo yang mengharapkan laut Indonesia dikelola dengan baik termasuk dengan memiliki Sea & Coast Guard (Penjaga Laut dan Pantai).
Karena mimpi itulah, Didik Heru Purnomo kerap mengajak para wartawan menulis tentang laut Indonesia.
[dem]
BERITA TERKAIT: