30 Wartawan Persiapkan Poros Maritim sejak Tiga Tahun Lalu

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Minggu, 31 Agustus 2014, 11:55 WIB
30 Wartawan Persiapkan Poros Maritim sejak Tiga Tahun Lalu
rmol news logo Sebanyak 30 jurnalis Indonesia ikut menyumbangkan pikiran dalam membangun gagasan poros maritim. Pokok-pokok pikiran ke-30 jurnalis itu dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul “Tahun 1511: Lima Ratus Tahun Kemudian” yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tahun 2011 lalu.

Di dalam setiap tulisan secara umum terkandung harapan agar Indonesia yang merupakan negara maritim terbesar di dunia kembali ke puncak kejayaan. Juga harapan agar pemerintah memiliki keseriusan dalam membangun dan mengelola laut nusantara.

Demikian disampaikan Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) Putut Prabantoro dalam perbincangan dengan redaksi. Putut adalah editor dari buku setebal 247 halaman itu.

Ke-30 jurnalis yang menuliskan pokok-pokok pikiran dan renungan mereka itu adalah Primus Dorimulu (Pemred Suara Pembaruan dan Investor Daily), Pieter P. Gero (Redaktur Ekonomi Harian Kompas), Achmad Subechi (Pemred Tribun Kaltim), Teguh Santosa (Pemred Rakyat Merdeka Online/RMOL), Dodi Sarjana (Pemred Tribun Pekanbaru), Gaudensius Suhardi (Kadiv Content Enrichment Media Indonesia), Kornelius Purba (Senior Managing Editor The Jakarta Post), Marcel Kelen (Wartawan Antara di Papua), Ahmad Basori (Pemred Harian Pelita), Rafael Don Bosco (Wartawan Indosiar), Dion DB Putra (Pemred Harian Pos Kupang), Ivan Rishky Kaya (Ketua Forum Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional, Ambon), Astriyadi Alexander Mering (Redaktur Borneo Tribune, Pontianak) dan Richard Nainggolan (Pemred Tribun Manado).

Selain itu tercatat juga, Tri Agung Kristanto (Redaktur Politik dan Hukum Harian Kompas), Abdul Haerah (Pemred Tribun Medan), Yusran Pare (Pemred Banjarmasin Post), GA Guritno (Redaktur Majalah Gatra), Iman Suryanto (Wartawan Tribun Batam), Algooth Putranto (Wartawan Bisnis Indonesia), Rahdini Ikaningrum (Reporter MetroTV), Donatus Budiono (Redpel Pontianak Pos), Julius Jera Rema (Wartawan Investor Daily), Koesworo Setiawan (Kepala Jurnas.Com), Rosmery Sihombing (Askadiv Pemberitaan Media Indonesia), Willy Masaharu Indracahya (Wartawan Suara Pembaruan), Ardianto BS (Producer News Trans7), Agapitus Batbual (Wartawan Suara Perempuan Papua di Merauke), Maurits Sadipun (Redaktur Timika Ekspress) dan Hadmarus Waka (Wartawan Harian Bintang Papua, Jayapura, Biro Timika).

Ide penulisan dan penerbitan buku itu, sebutnya, berasal dari Laksdya TNI Yosaphat Didik Heru Purnomo yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Pelaksana harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Republik Indonesia. Didik kerap melibatkan jurnalis dalam perjalanannya ke titik-titik terdepan Indonesia di perairan nusantara.

“Baik atau buruk pandangan watawan tentang pengelolaan laut Indonesia adalah sumbangsih yang tidak kecil bagi terbangunnya kembali kejayaan bahari Indonesia. Mereka (wartawan) memiliki media yang dapat mempercepat terbangunnya kembali kejayaan bahari Indonesia yang pernah kita dengar ratusan tahun lalu,” demikian tulis Didik Heru Purnomo dalam pengantarnya di halaman 23.

Menkopolhukam Marsekal TNI (Purn.) Djoko Suyanto, Menhan Purnomo Yusgiantoro dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menuliskan kata pengantar untuk buku itu. Selain mereka, pengantar juga dituliskan Franciscus Welirang yang mewakili pengusaha, antan Wakasad Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Kepala BP Migas R. Priyono dan pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng KH Salahuddin Wahid, serta Sekretaris Kalakhar Bakorkamla RI Dicky R Munaf.

“Buku itu dibuat untuk memperingati 500 tahun jatuhnya Malaka dan Singapura (Tumasik) yang dulu merupakan pulau terluar Kerajaan Sriwijaya (Kerajaan Singosari, Majapahit dan Demak) ke tangan Portugis pada tahun 1511.  Sejak kejatuhan itu, nusantara kehilangan kontrol atas lautnya selama 424 tahun,” ujar Putut.

“Sayangnya Malaka dan Singapura tak kembali menjadi bagian nusantara sejak 17 Maret 1824 ketika Traktat London ditandatangani Belanda dan Inggris untuk tukar guling antara Tumasik (Singapura) dan Bengkulu,” sambungnya.

Putut juga mengatakan bahwa buku itu adalah mimpi Didik Heru Purnomo yang mengharapkan laut Indonesia dikelola dengan baik termasuk dengan memiliki Sea & Coast Guard (Penjaga Laut dan Pantai).

Karena mimpi itulah, Didik Heru Purnomo kerap mengajak para wartawan menulis tentang laut Indonesia. [dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA