BPN dan Pemda Harus Atasi Konflik Industrial Pertanahan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Senin, 06 Mei 2013, 20:38 WIB
BPN dan Pemda Harus Atasi Konflik Industrial Pertanahan
ilustrasi/ist
rmol news logo Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pemerintah daerah (pemda) harus memunyai komitmen jelas terhadap isu jaminan iklim investasi. Hal ini dilatarbelakangi makin tingginya angka konflik industrial pertanahan. Bila tidak ada upaya jelas maka dikhawatirkan akan menganggu pertumbukan ekonomi Indonesia secara makro.

"Perlu ada role model (konsep) yang jelas. Termasuk usulan Komisi II tentang RUU Pertanahan," kata anggota Komisi II DPR RI, Zainudin Ahmadi di Jakarta, (Senin, 6/05).

Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan, saat ini konflik industrial pertanahan terbilang tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Untuk tahun 2010 ada 106 konflik. 2011 ada 163 konflik. 2012 ada 198 konflik. Dikhawatirkan pada tahun-tahun akan lebih tinggi lagi.

Menurut dia, BPN sebagai stakeholder dan perpanjangan pemerintah pusat harus dapat menanggulanginya. Tentu saja, proses penanganannya harus disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing. Dalam hal ini pemda harus diikutsertakan. Sehingga, BPN dan Pemda dapat menemukan formula tepat dalam menangani dari sebuah kasus.

Apabila situasi tersebut tidak dapat ditanggulangi, sambungnya, para investor akan emoh menanamkan modalnya. Baik di bidang perkebunan, pertanian, ataupun pertambangan. Efek dominonya adalah pendapatan asli daerah (PAD) akan hilang signifikan.

Oleh karena itu, pemda harus berani memberikan komitmen kepada investor. Agar sejumlah kasus seperti konflik yang menimpa perusahaan seperti PT Lestari Asri Jaya di Kabupaten Tebo, Jambi, PT Tunggal Perkasa Plantations, Inhu, Riau, dan PT Barat Selatan Makmur Investindo, Mesuji, Lampung, tidak terulang.

"Dalam jangka panjang akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Karena investor pasti menahan rencana investasi sampai ada jaminan dari pemerintah daerah. Ini merupakan preseden buruk bagi kondusivitas iklim investasi di Jambi dan Riau," ungkap Zainudin Ahmadi.

Jurubicara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Galih Andreanto mengatakan, untuk tahun 2012, 45 persen konflik pertanahan di bidang perkebunan. 30 persen di sektor pembangunan infrastruktur. 11 persen di sektor pertambangan. 10 persen di sektor kehutanan. 3 persen di sektor pertanian tambak pesisir. 1 persen di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai.

"Jadi konflik terbesar pada tahun 2012 ada di sektor perkebunan. Sektor ini menjadi besar lantaran ketidaktegasan BPN dan campur tangan pemda yang tidak arif dalam menyelesaikan masalah. Dan bahkan, dibeberapa kasus pemda justeru memperuncing persoalan," tandasnya.[rsn]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA