Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menangkal Gerakan Radikal Terorisme

Selasa, 22 Mei 2018, 08:17 WIB
Menangkal Gerakan Radikal Terorisme
Foto: Net
PROBLEM krusial dalam membahas gerakan radikal adalah definisi radikalisme itu sendiri. Secara bahasa, radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti “akar” (root), dan secara umum mengutip Kamus Merriam-Webster adalah, “opini dan perilaku orang-orang yang menyukai perubahan ekstrem, terutama dalam hal pemerintahan.”

Realitanya, antara pandangan akademis dan publik soal radikalisme—yang istilahnya mulai dipakai di akhir abad ke-18 terkait dengan reformasi sistem pemilihan secara radikal di Inggris—tidak sepenuhnya seiring-sejalan.
Lantas, bagaimana cara kita mendefinisikan sebuah gerakan sebagai gerakan radikal atau tidak radikal? Kemudian, bagaimana menangkal gerakan radikalisme terorisme yang ada di negeri ini?

Redefinisi Radikalisme


Hasil kajian permulaan dari tim peneliti FISIP UI sejak tahun 2017 terkait radikalisme yang dipimpin Professor Iwan Gardono Sujatmiko menunjukkan bahwa ada perbedaan definisi radikalisme versi akademis dan publik yang disebabkan karena perbedaan konteks sejarah dan struktur-komposisi masyarakat yang berbeda.

Sekularisme di Eropa misalnya, dianggap sebagai pemikiran radikal yang positif, karena hendak memisahkan agama dari negara alias “mensterilkan ruhani dari politik.” Mengutip Domenic Marbaniang, kemunculan sekularisme di Barat seiring dengan posisi akal yang mulai perlahan-lahan dibebaskan dari penaklukan kekuasaan agama dan takhayul (Budiselic, 2014). Namun, di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, sekularisme justru ditentang sebagai pemikiran radikal yang negatif karena dapat menjebabkan marginalisasi agama dan tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah din wad dawlah (agama dan negara).

Istilah “agama dan negara” itu menurut The Oxford Dictionary of Islam, pertama kali digunakan oleh Ali bin Rabban At-Tabari (wafat 870 M) dalam bukunya Al-Din wad-Dawlah fi Ithbat Nubuwwat Muhammad yang menjelaskan bahwa komunitas Islam tidak lepas dari soal religiusitas dan kepentingan politik. Dalam hal ini, radikalisme menjadi sangat sarat dengan bagaimana sekelompok orang menafsirkan tentang istilah tersebut.

Selain itu, posisi sosial sangat menentukan bagaimana seseorang melihat radikalisme. Agama dan etnik yang sama tidak menjamin persamaan pemikiran soal radikalisme. Sekelompok orang yang memiliki posisi sosial bisa jadi tidak menerima pemikiran radikal karena pemikiran itu dapat merusak tatanan yang ada, sekaligus akan membahayakan posisinya.

Sementara itu, sekelompok orang lainnya yang posisinya di luar sistem (entah itu oposisi atau gerakan perlawanan) bisa jadi menerima pemikiran radikal karena sesuai dengan kepentingannya.

Dalam konteks keindonesiaan kita, definisi radikalisme dapat kita artikan sebagai pemikiran mendasar sebuah organisasi, jaringan, atau individu yang mempunyai wawasan dan melakukan aksi yang bertentangan dengan 4 pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI). Jika ada gerakan yang bertentangan dengan 4 pilar tersebut, maka gerakan tersebut—sekecil apapun itu—dapat disebut sebagai gerakan ekstrem (radikal) yang mengutip Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, “harus diwaspadai dan perlu ditanamkan nilai-nilai luhur keindonesiaan.” (bnpt.go.id, 28/3/2017).

Dalam praktiknya, gerakan radikal yang anti 4 pilar ini dapat mewujudkan diri dalam gerakan pemikiran, aksi, jejaring, organisasi, atau juga gerakan terorisme, bahkan separatisme.

Klasifikasi Radikalisme


Iwan Gardono Sujatmiko dan Adrianus Jebatu, dalam tulisannya “Toleransi, Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme” (Jalan Damai, BNPT, 2017) mengklasifikasikan gerakan radikal dalam tiga kelompok, yaitu (1) gerakan radikal ideologis yang ingin mengubah sistem-ideologi tanpa kekerasan, (2) gerakan radikal aksi yang ingin mengubah sistem-ideologi dengan kekerasan, dan (3) gerakan radikal terorisme yang ingin mengubah sistem-ideologi dengan kekerasan.

Contoh gerakan pertama (radikal ideologis) adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Gerakan ini perlu didekati dengan pendekatan dialogis dan debat ideologis. Dalam konteks hukum, gerakan HTI—yang kini telah resmi dibubarkan—telah resmi dianggap sebagai gerakan radikal yang ingin mengubah konstitusi Indonesia dengan sistem Khilafah.

Mereka lebih banyak bermain dalam gerakan pemikiran (syiraul fikri) sambil membangun basis-basis sosial-politik (kifahus siyasi) di berbagai tempat. Jika masyarakat telah banyak yang pro-HTI, maka urusan mengganti sistem kenegaraan akan lebih mudah bagi mereka.

Senada dengan itu, Clark McCauley dan Emmanuel Karagiannis dari University of Maryland, menyebut bahwa gerakan Hizbut Tahrir bersifat gerakan radikal non-kekerasan (a non-violent radical Islam) dan menolak terorisme karena menurut mereka, “membunuh orang yang tidak berdosa bertentangan dengan hukum Islam.” (start.umd.edu, akses 19/5/2018).

Contoh gerakan kedua (radikal aksi) adalah gerakan Front Pembela Islam (FPI). Gerakan ini hendak mengubah sistem-ideologi dengan “NKRI Bersyariah” yang dibarengi dengan beberapa aksi kekerasan seperti merusak kafe, bentrok dengan satpam dan polisi, menyerang Miss Waria, menyerbu Kampus Mubarak, dan merusak kantor Majalah Playboy (Tempo.co, 13/11/2014).

Belakangan FPI mengalami transformasi dengan tingkat kekerasan yang minim. Ada semacam perubahan pemikiran FPI yang sebelumnya dikenal massif dengan aksi kekerasan tapi menjadi aksi damai, bahkan—kolaborasi dengan gerakan lainnya—yang dapat mengumpulkan massa jutaan orang dalam aksi anti-penistaaan agama di Monas.

Bisa jadi, tipologi FPI sebagai gerakan radikal aksi semakin bergeser menjadi gerakan yang tidak lagi menggunakan kekerasan setelah bertemu dengan gerakan-gerakan lainnya yang sama-sama berbasis Islam tapi anti pada tindakan dan aksi kekerasan.

Contoh ketiga (radikal terorisme) adalah gerakan Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, dan ISIS. Dalam riset saya terkait “Penyebaran Pengaruh Al-Qaeda terhadap Gerakan Teroris di Indonesia” (Pascasarjana UI, 2010), gerakan Al-Qaeda di Indonesia lebih berbentuk gerakan bawah tanah (clandestine) alias tidak berbentuk gerakan struktural yang langsung dikomando oleh Osama bin Laden.

Namun, sebagai gerakan bawah tanah, pengikut Al-Qaeda (atau pro-Al-Qaeda) memiliki “struktur bergerak” yang beberapa tokohnya terkoneksi langsung dengan Osama seperti Hambali (Riduan Isamuddin) yang disebut sebagai satu-satunya orang Asia Tenggara yang berada di puncak elite Al-Qaeda.

Namun, setelah kematian Osama pada awal Mei 2011 di Abottabad, Pakistan (yang kemudian diganti oleh Aiman Al-Zawahiri) ditambah dengan berdirinya ISIS (termasuk lahirnya gerakan JAD) membuat gerakan Al-Qaeda “tiarap”, akan tetapi bisa aktif kembali setelah ISIS kehilangan hampir semua wilayah yang pernah dikuasai di Irak dan Suriah, termasuk kota utama seperti Mosul (Irak Utara) dan ibukota Raqqa (Suriah Utara).

Hal itu, ditambah dengan munculnya faksi yang menyalahkan Khalifah Abu Bakar Al-Baghdadi atas kehancuran proto-state Kekhalifahan Islam yang mereka dirikan sejak 2014 (New York Post, 18/10/2017).

“Struktur Bergerak” JAD


Belakangan ini nama Jamaah Ansharud Daulah (JAD) paling banyak dibahas di media, terutama setelah penyanderaan di Mako Brimob (8/5/2018) yang disusul dengan bom Surabaya dan Sidoarjo, serta penyerangan di Mapolda Riau. Aman Abdurrahman, seorang tokoh kharismatik yang keluar-masuk penjara disebut sebagai ideolog utamanya.

Secara konseptual, Aman memang jagonya. Dia bisa disebut sebagai satu-satunya kalangan pro-ISIS yang punya basis keilmuan Islam yang tidak bisa diremehkan, selain juga penghafal Al-Qur’an, dan menghafal beberapa kitab karya ulama klasik.

Kelebihan Aman dibanding tokoh pro-ISIS lainnya adalah karena Aman memiliki beberapa keutamaan seperti (1) penghafal Al-Qur’an (30 juz), (2) kecerdasan intelektual (lulusan cumlaude dari LIPIA), (3) tenang dan berwibawa, dan (4) penghubung ideologis antara pemikiran radikal Timur Tengah dengan kebutuhan aksi di Indonesia.

Kendati Aman bukanlah “selebritis jihad”—mengutip Greg Fealy—karena tidak punya pengalaman tempur seperti para bomber Bom Bali (dari Jamaah Islamiyah) yang pernah di Afghanistan, Filipina, dan lain sebagainya, akan tetapi empat hal itu membuat Aman disegani (karena tidak semua orang bisa memiliki keempat hal itu secara bersamaan) di kalangan teroris JAD yang saya sebut sebagai terorisme “post-Al-Qaeda.”

Gerakan teroris JAD atau “post-Al-Qaeda” ini memiliki muara pemikiran pada Aman Abdurrahman. Bahrun Naim (“lautan kenikmatan”—arti namanya) yang terlibat dalam bom Thamrin serta rencana bom panci Yuli Dian Novi di depan istana negara juga terkait dengan Aman. Bahkan, meredanya ketegangan berdarah di Mako Brimob tidak lepas dari suara Aman yang meminta kepada pengikutnya itu agar tidak buat masalah di “kandang singa”—sebuah istilah Aman Abdurrahman untuk Mako Brimob.

Gerakan JAD tidak banyak punya pengalaman tempur, kecuali misalnya mereka mempelajari teknik membuat bom lewat berbagai manual dan beberapa basis pelatihan yang mereka buat seperti di Jalin Jantho, Aceh. Tapi, basis-basis itu tidak sepenuhnya berhasil membuat mereka sebagai teroris besar dengan korban besar seperti kelompok pro-Al-Qaeda di bom Bali. Tapi, yang merusak dari gerakan ini adalah gerakannya yang kecil-kecil dan banyak.

Boleh dikata, pepatah tua yang berkata “tak ada rotan akar pun jadi” itu dipraktikkan oleh JAD lewat misalnya teror-teror lewat surat (yang salah satunya ingin membuat Jakarta seperti Marawi), pakai pisau/samurai kecil (teror di Masjid Falatehan dan Mapolda Riau), gunting (Dita Siska Melliana dan Siska Nur Azizah), bahkan dengan bom pipa yang memiliki daya ledak yang tidak bisa diremehkan.

Berita paling baru menyebut bahwa Aman Abdurrahman telah divonis hukuman mati oleh jaksa. Jika Aman telah tiada, lantas apakah gerakan teror JAD ini tiada? Bisa ya, bisa tidak. Akan tetapi, jika pemikiran teror—yang dibalut dengan dalil-dalil keagamaan—masih ada, terorisme sulit untuk dikatakan telah selesai, bahkan bisa jadi muncul dengan variasi-variasi seperti penggunakan perempuan dan anak kecil sebagai aktor dalam amaliyah kekerasan teror tersebut.

Menangkal Radikalisme


Lantas, bagaimana menangkal radikalisme? Jika radikalisme itu terkait dengan pemikiran dan aksi (non-terorisme) maka bisa ditangkal dengan penyadaran pendekatan ideologis, debat, sosialisasi, penyadaran-penyadaran, bahkan diajukan ke meja hukum. Tapi, jika radikalisme itu terkait dengan terorisme, maka penanganannya bisa dilakukan lewat beberapa metode seperti penyadaran ideologis bahwa Indonesia ini bukan negara jahiliyyah.

Term “negara jahiliyyah” ini dipahami oleh kalangan teroris sebagai negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara utuh.

Karena jahiliyah, maka mereka tidak mengakui hukum-hukum yang ada di dalamnya. Empat pilar kebangsaan mereka anggap sebagai thagut, yaitu sesembahan yang disembah kepada selain Allah. Dan, orang-orang yang menjadi menjadi aparat pemerintah seperti anggota DPR, MPR, presiden, polisi, tentara, hakim, jaksa, dan sebagainya adalah kafir, penolong thagut (anshar thagut) dan wajib diperangi.

Pemikiran seperti itu muncul dari penafsiran terhadap agama yang bersifat ekstrem, dan tidak mau menerima perbedaan. Ini sangat problematik bagi Indonesia yang multi-budaya.

Namun, dalam menangkal terorisme itu ada baiknya semua komponen tetap memang asal praduga tak bersalah, dan bersifat professional. Kasus seorang santri pakai peci dan sarung yang bawa ransel dan kardus yang diminta oleh polisi untuk membuka isi kardusnya—yang sempat viral—menjadi salah satu antisipasi yang baik, akan tetapi bagi beberapa kalangan dianggap sebagai berlebihan.

Jangan sampai orang-orang pakai peci, sarung, ransel, cadar, berjenggot, atau yang berbicara pakai kata “ana-antum” (biasa dipakai di kalangan aktivis gerakan Islam transnasional dan kalangan pesantren) dicap sebagai indikasi terorisme.

Hal penting lainnya dalam menangkal gerakan radikal ini adalah dengan memperbaiki tata-kelola pemerintahan. Sebagai “pelayan masyarakat”, pemerintah harus terus memperbaiki layanannya agar semua orang mendapatkan keadilan.

Mengutip dari budayawan Ahmad Tohari di laman NU Online (1/6/2016), penyebab terorisme selain kemiskinan—mungkin ini terbantah lewat terorisme Dita Oepriyanto di Surabaya—adalah ketidakadilan. Maka, tata-kelola pemerintahan yang berkeadilan cukup penting untuk mencegah tumbuhnya gerakan radikalisme. [***]


Yanuardi Syukur
Dosen Antropologi Universitas Khairun, Ternate dan Peneliti Pusat Kajian Antropologi FISIP Universitas Indonesia


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA