Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Harus Ada Rumusan Hukum Atasi Foreign Terrorist Fighter Dan Hate Speech

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Kamis, 01 Desember 2016, 14:01 WIB
Harus Ada Rumusan Hukum Atasi Foreign Terrorist Fighter Dan Hate Speech
Anggota ISIS/net
rmol news logo Fenomena Foreign Terrorist Fighter (FTF) di Indonesia dan ujaran kebencian (hate speech) di internet membuat penanganan tindak pidana terorisme semakin kompleks.

Fakta itulah yang mengharuskan Indonesia segera membuat rumusan hukum penanganan FTF dan hate speech sebelum UU Terorisme yang baru disahkan DPR.

Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT, Irjen Pol Arief Dharmawan, menilai rumusan hukum dalam menangani FTF dan hate speech sangat penting. Apalagi, selama ini Indonesia belum punya instrumen untuk melakukan tindakan hukum atas FTF dan hate speech.

"FTF belum bisa dihukum karena UU-nya belum ada. Saat ini sedang berjalan revisi UU Terorisme, tapi belum tahu kapan selesainya. Saya berharap revisi itu cepat selesai dan segera menjadi UU," ungkap Arief Dharmawan, lewat rilis BNPT, Kamis (1/12).

"Jangan sampai kasus bom Thamrin terulang, sementara kita belum memiliki instrumen hukum untuk menangani aksi terorisme ini," tambah Arief.

Untuk membuat rumusan hukum, BNPT melalui Kedeputian Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan telah menggelar Focus Group Discussion (FGD) Tentang FTF dan Hate Speech dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme, di Jakarta, pada Rabu (30/11). Rumusan hukum tersebut bisa mengantisipasi arus balik FTF dan WNI dari arena perang Irak. Apalagi, ada seruan dari pimpinan ISIS kepada pengikutnya untuk melakukan aksi di negara masing-masing tanpa perlu pergi ke Irak dan Suriah.

Sebenarnya fenomena FTF bukan hal baru di Indonesia. Sebelumnya, banyak WNI pergi ke Afghanistan pada era 1986-1992 untuk membantu para pejuang negara itu melawan Uni Soviet. Saat ini, banyak WNI yang terlibat perang di Irak dan Suriah bergabung dengan ISIS dan Jabat Al Nusra. Dari data yang ada, sekitar 700 WNI berangkat ke Suriah dan Irak. Jumlah ini memang tidak terlalu banyak dibandingkan dengan Eropa Barat (5000 orang), Rusia (4700 orang), Balkan (875 orang), dan Timur Tengah (8240 orang).
 
"Meski jumlah tidak banyak, tapi banyaknya WNI yang bergabung ke ISIS tetap sebuah ancaman. Kita punya pengalaman buruk dengan mereka yang pernah bergabung di Afghanistan," tegas mantan Kapolres Temanggung dan Klaten ini.

Selain FTF, bahaya lebih besar lagi datang dari tindakan ujaran kebencian. Menurutnya, ujaran kebencian terkait terorisme kini beredar bebas di media sosial. Isinya menebar kebencian dan mengajak orang untuk melanggar hukum. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA