Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

RUU TERORISME

Aktivis Tolak Pasal Pencabutan Kewarganegaraan Teroris

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 25 Juli 2016, 17:51 WIB
rmol news logo Ternyata, ada cukup banyak pasal kontroversial dalam draf revisi atas UU terorisme yang diajukan pemerintah ke DPR.

Pasal-pasal itu berdampak negatif pada masa depan penegakan HAM, kebebasan berpendapat dan hak warga negara.  

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil di PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Senin (25/7). (Baca: Aktivis HAM Protes Perpanjangan Masa Penangkapan Dan Penahanan)

Persoalan serius terlihat juga pada Pasal 43A ayat (1) yang memberikan kewenangan baru kepada penyidik atau penuntut umum untuk membawa atau menempatkan orang tertentu dan di tempat tertentu selama 6 bulan untuk tujuan program deradikalisasi.

"Ini bisa digunakan untuk menciptakan banyak kamp-kamp penahanan di beberapa daerah dan berpotensi menimbulkan terjadi kekerasan dan penyiksaan," tegas Al.

Lanjut Al, bentuk pemidanaan berupa sanksi pencabutan kewarganegaraan bagi pelaku tindak pidana terorisme, seperti diatur dalam Pasal 12B ayat (5) RUU, juga berpotensi menimbulkan kasus pelanggaran HAM.  

Berkewarganegaraan merupakan hak konstitusional setiap warga negara dan juga dijamin dalam sejumlah instrumen HAM internasional. Hak-hak berkewarganegaraan tersebut mencakup hak untuk memperoleh,  mengganti, dan mempertahankan kewarganegaraan.

Kendati negara memiliki kekuasaan untuk menetapkan pencabutan kewarganegaraan, namun bentuk pemidanaan dalam RUU ini harus dikaji ulang secara serius. Pencabutan kewarganegaraan sebenarnya hanya dimungkinkan jika warga negara melakukan kejahatan yang mengingkari ikatan komunitas politik sebagai bangsa dan menodai konstitusi seperti melakukan spionase untuk kepentingan negara lain.  

"Pencabutan kewarganegaarn tersebut sebaiknya dihindari karena akan mengakibatkan seseorang tidak berkewargenagaraan," tambah Al.

Terakhir, Pasal 31 yang memberikan wewenang bagi penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa melalui mekanisme izin ketua pengadilan, berpotensi untuk disalahgunakan dan melanggar hak privasi warganegara.  

"Pengaturan tentang masalah penyadapan semestinya mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang menyatakan penyadapan sebaiknya diatur dalam aturan perundang-undangan tersendiri," demikian Al. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA