Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

BOM STARBUCKS

Arti Pesan Serangan Bom di Sarinah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tjipta-lesmana-5'>TJIPTA LESMANA</a>
OLEH: TJIPTA LESMANA
  • Jumat, 15 Januari 2016, 11:26 WIB
Arti Pesan Serangan Bom di Sarinah
foto:net
rmol news logo Salah satu prinsip akbar komunikasi berbunyi: "Communication is always intentional". Sesungguhnya, manusia berkomunikasi pasti mengandung maksud atau tujuan tertentu. Komunikasi amat beragam bentuknya. Dari mulai sepasang sejoli yang sedang jatuh cinta berciuman dan "gusel-guselan" di dalam gedung bioskop, sampai cekcok sepasang suami-isteri cekcok, upaya oposisi mengganjal pemerintahan Jokowi, sampai pembunuhan presiden.

Bagaimana dengan serangan bom?

Jelas sekali, serangan bom, siapa pun kelompok pelakunya, juga bentuk komunikasi. Komunikasi antara si pelaku (komunikator) dan pemerintah atau masyarakat sebagai komunikan/khalayak. Dan sesuai dengan salah satu prinsip akbar komunikasi, serangan bom juga mengandung pesan (message) tertentu. Para petinggi aparat intelijen dan pemerintah, termasuk Presiden Jokowi, harus mampu menguak arti pesan serangan bom itu, terutama yang terjadi kemarin di depan Sarinah, Jalan Thamrin.

Apa sesungguhnya pesan yang hendak dikirim para pelaku kepada pemerintah kita? Tentu, yang paling tahu adalah si pelaku serangan bom. Kami sebagai pengamat dan analisis hanya mencoba membuat the best guess.

Awal Desember yang lalu,sebelum Tim Panel Situs Internet berkonten Radikalisme, Terorisme dan SARA yang dibentuk oleh Menteri Kominfo memulai rapat, beberapa anggota terlibat dalam diskusi kecil tentang serangan bom ISIS di Paris. Dalam kesempatan itu, saya menyatakan keyakinan saya bahwa ISIS Indonesia tidak lama lagi akan melancarkan serangan bom. Apa tanggapan seorang Kyai dari  NU yang juga anggota Tim Panel?

"Oh, pasti, Pak. Kalau soal itu, saya juga yakin, pasti. Yang tidak kita tahu, kapan dan di mana serangannya. Tapi menurut perkiraan saya, lokasinya di bagian Timur Indonesia."

Seorang petinggi kita, tidak lama setelah rangkaian bom meledak di sekitar Sarinah, berkilah bahwa serangan bom memang tidak bisa diperkirakan.

Padahal, aparat intelijen seharusnya sudah bisa memprediksi dan mendeteksi kemungkinan besar serangan bom, terutama dari kelompok ISIS! Bukankah data intelijen mengatakan sudah lebih dari 500 warga Indonesia yang kembali ke Tanah Air setelah (diduga kuat) mendapat latihan dari ISIS Suriah atau Irak? Dan pengiriman warga kita yang lain ke Timur Tengah masih terus mengalir yang dicurigai bertujuan untuk mendapatkan latihan khusus di sana.....

Jadi, pesan pertama "komunikasi bom" kemarin adalah: intelijen Indonesia kebobolan. Tentu, para petinggi intelijen kita menolak keras tudingan ini. Dan penolakan itu sah-sah saja.

Tapi, bukankah kelompok Al Qaedah pada Desember yang lalu sudah memberikan sinyal kepada dunia internasional bahwa Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bakal segera jadi "killing field" kelompok ISIS? Dan pada awal Desember juga, pihak intelijen kita sebetulnya sudah mengabarkan besarnya risiko Jakarta diserang aktivitas terorisme? Kedubes Prancis yang pertama kali diamankan. Berikutnya Kedutaan Rusia memberi travel warning pada warganya yang berniat berkunjung ke Indonesia. Dan pada 18-19 Desember 2015, Intelijen Australia memberi info kepada Detasemen Khusus 88 Polri soal keberadaan pelaku teror. Polisi behasil menangkap sembilan tersangka pelaku teror yang diduga terkait ISIS di Cilacap, Tasikmalaya, Sukoharjo, Gresik, dan Mojokerto.

Maka, saya setuju dengan desakan beberapa kalangan bahwa Presiden Jokowi harus segera mengevaluasi kinerja Sutiyoso, Kepala Badan Intelijen Negara. Seorang Kepala BIN mutlak sosok yang memiliki pengalaman kaya di bidang intelijen strategis; kemampuan intelijen taktis saja jauh dari memadai. Kepala BIN seyogianya juga orang yang memiliki pemahaman, dan cukup tahu mengenai jaringan terorisme di Timur Tengah, terutama ISIS. Indonesia memiliki ahli-ahli seperti itu. Sayang, Presiden Jokowi tidak jeli, sehingga mengabaikannya.

Pesan kedua, lokasi yang pertama dibom adalah gerai kopi Starbuck, simbol Amerika. Itu berarti pelaku ingin mengungkapkan kebenciannya terhadap Amerika, negara sahabat dekat Indonesia.

Ketiga, serangan menggunakan "pola Paris", yaitu bukan satu ledakan yang dibuat, tapi beberapa ledakan. Bukan hanya satu lokasi, tetapi beberapa lokasi, walaupun yang di Jakarta kemarin, lokasinya berdekatan satu sama lain.

Pesan keempat, para pelaku betul-betul nekad. Seorang saksi mata dengan Hp biasa berhasil memotret adegan ketika salah satu pelaku mengacungkan pistol dan mengancam siapa pun. Hebatnya: pelaku itu tidak pakai penutup wajah, mukanya terlihat jelas. Ia masih muda, berbadan sehat, dan membawa ransel di punggung. Teroris biasanya menutupi wajahnya ketika beraksi. Hal itu mengandung arti sifat "PD" tinggi di oihak pelaku. Mereka betul-betul tidak takut dan memang NEKAD!

Pesan kelima, ledakan yang ditimbulkan serangan cukup keras, menimbulkan kepanikan besar masyarakat sekitar. Peralatan yang dibawa pelaku terdiri atas pistol, "granat nanas" dan bom. Jelas sekali, mereka amat terlatih dan bergerak cepat. Kelompok ini jauh lebih profesional dibandingkan kelompok teroris tradisional yang sempat beberapa kali mengguncang Indonesia beberapa waktu yang lalu.

Keenam, serangan bom di Sarinah hanya sekitar 2 Km jaraknya dari Istana, Pusat kekuasaan dan pusat pemerinahan Republik Indonesia. Hal ini mengandung pesan: kaum teroris ingin memberikan sinyal bahwa Isana sekali pun bisa digempur......

Ketujuh, sama halnya dengan kasus di Eropa, sekali ISIS melakukan "gebrakan maut", tendensinya akan terus menggebrak. Lihat di Istanbul, misalnya. Beberapa kota besar Eropa kini dilanda suasana cekam, seolah-olah semua sedang menunggu kembalinya serangan maut ISIS.

Apakah hal ini berarti setelah serangan di Sarinah kemarin, akan menyusul serangan bom lain d Indonesia? Silakan Anda jawab sendiri. Kalau saya yang jawab, nanti saya dituduh membuat kegaduhan. Tetapi kepada Menko Polhukam, kami menitip pesan: Jangan sekali-sekali menutup mulut rakyat. Kita bukan lagi hidup di alam otoritarian yang antara lain berpendapat kebenaran itu ditentukan oleh pemerintah. Kebenaran, dalam sistem demokrasi, lahir dari diskursus publik secara terbuka dan terusmenerus. Jadi, rakyat berhak buka suara dalam urusan apa pun, apalagi urusan serangan bom maut! Jangan sedikitsedikit lemparkan tuduhan "membuat kegaduhan".....

Khusus mengenai serangan bom maut, saya kembali mendesak supaya Juklak penanganan terorisme di negara kita harus secepatnya DIUBAH. Intelijen TNI harus aktif dilibatkan. TNI sesungguhnya memiliki banyak aparat yang mahir dalam urusan kontraterorisme, tapi selama ini tidak dilibatkan.

Kelemahan Polri dalam uusan terorisme: Mereka sering bertindak kalau sudah ada bom meledak.

Data intelijen tidak bisa jadi dasar bertindak polisi, kata mereka, setiap kali intelijen TNI memberikan data tentang orang-orang tertentu yang harus ditindak dan diciduk. Kalau harus tunggu bom meledak dulu, ya terlambat, dong!

Kerjasama intelijen Polri dan TNI HARUS ditingkatkan. Keduanya harus saling percaya; jangan ada pihak yang seakan-akan hendak memonoli penanganan masalah yang ultra-serius ini. Tentu saja, untuk itu, pemerintah harus punya keberanian memberikan payung hukum yang memadai kepada aparat intelijen militer.

Bertindaklah cepat, Bapak Presiden, jangan sampai terlambat!!

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA