“Riset ini adalah salah satu bentuk upaya kami dalam dalam isu perlindungan pekerja perikanan, khususnya pekerja di pabrik pengolahan makanan hasil laut,” ujar Program Director DFW Indonesia, Imam Trihatmadja dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Selasa, 23 September 2025.
Riset ini merupakan hasil kerja sama DFW Indonesia dengan Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Lanjut Imam, guna mendapatkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan terkait permasalahan ini, DFW Indonesia menggelar diskusi hasil riset bertajuk ‘Kondisi Pekerja Pekerja Pengolahan Tuna di Bitung, Benoa, dan Jakarta Utara’ beberapa waktu lalu.
Human Rights Officer DFW Indonesia, Nabila Tauhida menyebut pekerja pengolahan hasil makanan laut bekerja dengan fleksibilitas tinggi. Lanjut dia, fleksibilitas tersebut tercermin dalam kemudahan pekerja untuk berpindah kerja dari satu pabrik ke pabrik lainnya.
“Pola fleksibilitas tersebut didukung melalui kontrak kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berjangka pendek antara 3 bulan hingga 1 tahun. Penerapan kontrak jangka pendek dimaksudkan untuk mengikuti pola produksi yang berbasis pemesanan (pre-order),” terang Nabila.
Ia juga menjelaskan bahwa sektor pengolahan tuna dengan mode padat karya yang bergantung pada produksi berbasis pesanan membuat pekerja pengolahan makin rentan.
Dalam riset yang dilaksanakan, terdapat salah satu perusahaan yang merumahkan sekitar 60 persen pekerjanya sebagai respons kebijakan Trump di awal 2025 lalu.
“Pekerja yang kami temui dalam posisi rentan. Bahkan, terdapat pekerja yang terus menerus diperpanjang per triwulan PKWT selama 6 tahun,” ungkapnya.
Sehingga, riset ini memberikan rekomendasi salah satunya untuk bisa melakukan penguatan pengawasan ketenagakerjaan utamanya berkaitan dengan penggunaan skema PKWT.
Selain itu, Nabila menemukan masih terbatasnya ruang representasi pekerja. Ia menyebut adanya ‘efek mendinginkan’ di mana kekhawatiran kontrak tidak diperpanjang membuat pekerja enggan menyuarakan aspirasinya.
Menurutnya, situasi ini tidak lepas dari kapasitas produksi yang sangat dipengaruhi fluktuasi permintaan pasar global.
“Pekerja lebih khawatir pada kepastian kontrak dibandingkan isu upah maupun keselamatan kerja. Bahkan, mereka cemas ketika stok ikan berkurang karena hal tersebut dapat memengaruhi keberlanjutan kontrak,” jelas Nabila.
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) menuturkan kementerian saat ini telah berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas tenaga kerja pengolahan melalui program maupun bimbingan teknis terhadap industri maupun pekerja.
Menurut dia, tenaga kerja berperan penting dalam sistem produksi perikanan karena tenaga kerja merupakan tumpuan produktivitas usaha serta kualitas produk yang dihasilkan.
“Direktorat Jenderal PDSPKP siap berkolaborasi dengan para pihak dalam rangka meningkatkan kapasitas tenaga kerja sehingga dapat berkontribusi terhadap penguatan daya saing produk perikanan,” kata Machmud.
Sektor perikanan telah berperan penting dalam mewujudkan visi ekonomi biru Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan ekspor produk perikanan Indonesia dari 4,56 miliar Dolar AS pada 2021 menjadi 4,81 miliar Dolar AS pada periode Januari-Oktober 2024 atau meningkat rata-rata sekitar 1,8 persen per tahun.
Peningkatan jumlah ekspor produk perikanan ini turut ditopang oleh pekerja di pabrik pengolahan makanan hasil laut yang punya peran penting dalam rantai industri perikanan.
BERITA TERKAIT: