Dalam kegiatan tersebut, KNTI yang tergabung dalam Koalisi Transform Bottom Trawling (TBT) melangsungkan kegiatan diskusi tentang penggunaan Trawl di Indonesia, Selasa, 10 Juni 2025.
Ketua Dewan Pengurus Daerah KNTI Kabupaten Labuhanbatu Utara Syahril Paranginangin menyampaikan bahwa hingga saat ini di Kabupaten Labuhanbatu Utara, trawl atau jaring ikan hela berkantong terus beroperasi di bawah 12 mil.
“Dampaknya, kami nelayan kecil dan tradisional terancam penghasilannya. Keberlanjutan ekonomi keluarga nelayan terancam,” jelas Ulong akrab disapa dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu, 11 Juni 2025.
Sambungnya, nelayan tradisional dihadapkan dengan dua pilihan melawan atau pasrah. Melawan dengan penuh resiko di lapangan, atau pasrah dengan risiko tidak terpenuhinya kebutuhan hidup.
“Harapan kami ke pemerintah, agar ada pengawasan dan bila perlu trawl atau pukat tarik dengan dua kapal dinonaktifkan atau diproses secara hukum,” ungkapnya.
Sedangkan Ketua Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) Kota Medan, Nilawati menyapaikan bahwa Trawl di Sumatera semakin marak. Mulai dari yang menggunakan kapal berukuran 30 GT hingga 10 GT. Menurutnya, kehadiran Trawl membuat ekosistem laut rusak sehingga ikan dan biota laut lainnya punah.
“Trawl menangkap ikan dari yang induk terbesar hingga bibit habis di angkutnya (tangkap). Selain itu, nggak jarang terjadi bentrok dengan nelayan tradisional saat di laut. Alat tangkap nelayan sering hilang karena mereka (trawl) melabuh (mengoperasikan) di wilayah tangkap yang mana banyak nelayan tradisional melabuhkan alat tangkapnya,” ungkap Nila
Lanjut dia, permasalahan di wilayah tangkap nelayan itu sering terjadi pemicu bentrok. Namun, perlu diketahui, bahwa ada nelayan tradisional yang mempunyai batas kemampuan untuk melaut (jarak).
“Saat ini, dampak dari adanya Trawal mengakibatkan ikan, udang dan kerang mulai sulit buat di cari lagi. Engga jarang nelayan kecil pulang dengan kerugian, karena biaya melaut saja sudah besar. BBM harganya tinggi, bekal melaut, membuat nelayan meradang hingga bertambahnya kemiskinan bagi nelayan,” bebernya.
Sementara itu, Wakil Sekjen KNTI, Hasmia menyampaikan tentang berbagai ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan pesisir.
“Trawl menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan nelayan, alhasil berdampak secara signifikan terhadap perempuan pesisir. Mengapa demikian? karena selama ini yang mengatur perekonomian keluarga nelayan adalah perempuan. Sehingga menurunnya pendapatan nelayan, akan menjadi beban bagi perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,”jelas Hasmia.
Masih kata dia, ketika pendapatan suaminya yang berprofesi sebagai nelayan tidak lagi memenuhi kebutuhan keluarga, maka para perempuan akan mencari pekerjaan alternatif dalam pemenuhan hidup keluarganya.
“Para perempuan pesisir biasanya usai menyelesaikan urusan domestik, guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, bekerja menjadi pekerja rumah tangga, pengupas kerang, pedagang keliling, atau jika terlampau kepepet maka akan berhutang. Sehingga akhirnya perempuan pesisir memiliki beban ganda, karena selain mengurusi urusan domestik juga mencari pemenuhan kebutuhan keluarga,” ungkapnya lirih.
Bahkan Hasmia juga menjelaskan trawl akan menjadi pemicu terjadinya tindakan yang mengancam perempuan pesisir. Mulai dari persoalan psikologis serta terjadinya kekerasan pada perempuan sebagai akibat dari persoalan ekonomi keluarga nelayan.
Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa para perempuan yang berprofesi sebagai nelayan dan yang berusaha di sektor kelautan perikanan lainnya terancam kehilangan mata pencahariannya akibat dari adanya trawl.
“Begitu besarnya dampak trawl terhadap kehidupan perempuan pesisir, maka dalam ruang-ruang pengambilan keputusan atau kebijakan penting untuk melibatkan perempuan pesisir,” tandas Hasmia.
BERITA TERKAIT: