Pengamat Konsumen, Arief Safari mengatakan, masyarakat perlu menyaring informasi yang akan disebarluaskan. Sebab bila apes, bisa jadi terancam pidana.
"Takutnya pelaku usaha ternyata punya bukti lain dan malah berbalik, itu yang harus hati-hati," imbau Arief dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/8).
Dalam hubungan antara konsumen dan pelaku usaha, ada aturan mainnya. Misalkan jika ada komplain, konsumen berhak melakukan aduan kepada pelaku usaha atau produk dimaksud.
Aturan tersebut tertuang dalam Undang-undang 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen, kata Arief, bisa menyampaikan komplain langsung kepada produsen atau pelaku usaha apabila merasa ada haknya yang dilanggar.
Artinya, komplain tersebut tidak serta merta melakukan dokumentasi dan disebar ke publik luas. "Artinya tidak memviralkan, tetapi lapor. Bicara dulu sama pelaku usaha," jelasnya.
Jika cara tersebut tidak mendapat solusi, maka konsumen bisa mengadukan ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Ada beberapa lembaga yang memfasilitasinya, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atau langsung ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI.
"Advokasi ini gunanya supaya lembaga bisa mendampingi konsumen bicara lagi dengan pelaku usaha agar ada resolusi dari masalah yang terjadi," lanjut Koordinator Komisi Komunikasi Dan Edukasi BPKN ini.
Mantan Koordinator Komisi Komunikasi Dan Edukasi BPKN ini meneruskan, apabila resolusi ini tidak terwujud baru dilarikan ke jalur litigasi sengketa di pengadilan. Atau bisa juga ke jalur non-litigasi melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) di masing-masing provinsi.
Di sisi lain, produsen atau pelaku usaha juga memiliki hak yang sama berupa sanggahan informasi yang telah disebarkan.
"Kalau sudah viral ya berarti dia (konsumen) harus bertanggung jawab atas informasi yang dia viralkan. Kalau tidak benar, bisa disanggah atau dibawa ke hukum sesuai UU ITE," tandasnya.
BERITA TERKAIT: