Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membongkar Penyebab Lambatnya Penurunan Stunting di Indonesia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Minggu, 17 Desember 2023, 01:41 WIB
Membongkar Penyebab Lambatnya Penurunan Stunting di Indonesia
Urun rembuk YAICI PP Aisyiyah, PP Muslimat NU dan para mitra di Jakarta, Kamis (14/12)/Istimewa
rmol news logo Stunting adalah ujung dari persoalan rendahnya literasi gizi masyarakat. Literasi gizi atau pemahaman dan kesadaran gizi masyarakat mempengaruhi pola asuh dan pola konsumsi keluarga.

Keluarga tanpa pemahaman gizi yang baik cenderung tidak memperhatikan asupan gizi anak, sehingga anak terbiasa mengkonsumsi makanan yang mereka suka, seperti makanan dan minuman dengan kandungan gula garam lemak yang tinggi.

Pembahasan ini mengemuka dalam urun rembuk yang dilakukan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Aisyiyah, PP Muslimat NU dan para mitra di Jakarta pada Kamis kemarin (14/12).

Dalam kesempatan itu, Gurubesar Ilmu Gizi Universitas Muhammadiyah Jakarta, Prof Tria Astika EP, memaparkan hasil penelitiannya mengenai kebiasaan konsumsi kental manis oleh balita.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, sebanyak 11,4 persen balita di Banten; 8,4 persen di DKI Jakarta; dan 5,3 persen di DI Yogyakarta mengonsumsi kental manis.

Tidak hanya itu, 78,3 persen responden di Banten, 88,1 persen di DKI, dan 95,2 persen di DI Yogyakarta memberikan kental manis kepada balitanya lebih dari 1 sachet per hari.

Adapun faktor utama pemberian kental manis kepada anak ini disebabkan oleh persepsi masyarakat di tiga wilayah ini yang masih menganggap kental manis adalah susu.

“Mengapa studi ini menjadi penting, pola makan yang terbentuk sejak balita akan terbawa terus hingga dewasa, sehingga kebiasaan memberikan kental manis untuk anak dan balita ini harus dicegah sedini mungkin supaya tidak berlanjut," jelas Prof Tria, melalui keterangannya, Sabtu (16/12).

"Penelitian sebelumnya juga menunjukkan, balita secara alamiah sangat suka makanan manis, terlebih lagi ketika ada paparan gula tambahan di dalam makanan,” sambungnya.

Sementara Ketua bidang Advokasi YAICI, Yuli Supriati, menyoroti kampanye penanganan stunting yang selama ini digaungkan tidak berdasar pada persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.

“Selama ini narasi mengatasi stunting adalah dengan ASI eksklusif. Ibu itu bukannya tidak mau memberikan ASI eksklusif untuk anaknya, tapi karena tidak mampu, karena bekerja, karena kondisi kesehatan, dan ibu meninggal. Anak-anak yang tidak mendapat ASI eksklusif ini larinya ke kental manis,” papar Yuli membeberkan temuan-temuannya saat berdialog dengan masyarakat.

Dalam kesempatan itu, Roesmarni Rusli dari Repdem mempertanyakan mekanisme pengawasan peredaran produk dengan kandungan gula yang tinggi di masyarakat.

“Produk kental manis ini berdasarkan PerBPOM No 31 tahun 2018, sudah diatur bahwa pada labelnya tidak boleh menyertakan kata susu, seharusnya ditulis krimer kental manis. Sekarang, kalau kita lihat, pada kemasan kental manis kembali lagi mencantumkan susu kental manis. Apakah BPOM kembali mengubah peraturannya atau memang tidak ada pengawasan terhadap ini?” tanya Roesmarni.

Penata kependudukan dan KB ahli madya, Dr Maria Gayatri, yang turut hadir dalam kesempatan itu mengakui, persoalan kental manis seharusnya mendapat perhatian lebih.

“Susu kental manis ini jarang sekali dibahas di BKKBN, nanti akan disampaikan ke pimpinan,” ujar Maria.

Lebih lanjut, ia mengatakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) saat ini sedang melakukan audit kasus stunting. Hal ini untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab stunting.

Menurut dokter anak RS Mayapada, dr. Kurniawan Satria Denta, yang turut hadir dalam kesempatan itu, salah satu kunci mencegah stunting adalah kualitas protein yang diberikan untuk anak.

“Protein yang paling baik adalah protein hewani, telur, ikan, susu, ini jenis protein hewani yang tersedia di sekeliling kita,” tutur dr Denta yang juga menyoroti masifnya informasi yang beredar di masyarakat ikut memicu pola makan yang salah pada anak.

“Di TikTok saya lihat, ada ibu-ibu memberikan kental manis untuk anak yang belum satu bulan. Saat ibu-ibu lain melihat dan mereka tidak dibekali edukasi gizi yang cukup, bisa saja dia meniru perilaku ini. Ini menurut saya juga harus diatasi,” tegasnya.

YAICI dengan para mitra berkomitmen untuk terus meningkatkan upaya edukasi, memperkuat pemahaman tentang gizi yang baik, dan bekerja sama dengan pemerintah daerah serta pihak terkait guna mengatasi akar permasalahan yang menyebabkan gizi buruk dan stunting.

Hasil dari urun rembuk bersama para mitra tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dan seluruh stakeholder terkait untuk bersama-sama bergerak mengatasi stunting. rmol news logo article
EDITOR: AGUS DWI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA