Tradisi tersebut dilaksanakan di salah satu tempat leluhur masyarakat setempat, yang dikenal dengan pasujudan Ajisaka. Sebelum tradisi perang dimulai, sesepuh desa setempat terlebih dahulu melakukan ritual doa.
Ratusan warga yang menanti ritual perang berteduh di bawah pohon Trembesi tak jauh dari lokasi. Mereka menyiapkan dawet dari rumah mereka masing-masing menggunakan ember, plastik, tempat air minum, dan lainnya.
Setelah doa selesai, tanpa aba-aba warga langsung berhamburan saling serang menggunakan cendol. Pakaian mereka pun basah kuyup terkena cendol.
“Tujuan dari tradisi perang cendol ini, bertujuan memohon agar hujan segera turun. Sedangkan, cendol dawet dalam tradisi tersebut hanya merupakan sarana dalam acara tersebut," kata Juru Kunci Pasujudan Ajisaka, Busroni, dikutip
Kantor Berita RMOLJateng, Jumat (3/11).
Dia mengatakan, kekeringan terjadi sudah lebih dari enam bulan, sehingga ketersedian air bersih bagi masyarakat dan untuk lahan pertanian semakin menipis.
Tradisi perang cendol dawet tersebut selalu dilakukan warga saat kemarau panjang melanda desa. Sesuai tradisi, kegiatan dilaksanakan pada hari Jumat Pon.
"Ini inisiatif warga. Sejak saya masih kecil tradisi ini sudah dilakukan. Semoga hujan segera turun di desa kami. Sehingga petani bisa cepat bercocok tanam," ungkapnya.
BERITA TERKAIT: