Demikian Prof Dr Waras Kamdi MPd, pakar pendidikan Universitas Negeri Malang (UM), dihubungi di Malang, Senin (31/7).
Sebelumnya diberitakan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, mengaku tiap tahun kena getah kebijakan sistem zonasi PPDB. Menurutnya, kebijakan sistem zonasi PPDB bukan kebijakannya, tapi Mendikbud sebelumnya, Prof Muhadjir Effendy.
Nadiem mengakui, kebijakan itu membuatnya repot. Namun ia merasa sistem zonasi PPDB penting, sehingga perlu dilanjutkan.
“Kebijakan zonasi itu bukan kebijakan saya, kebijakan Pak Muhadjir,” kata Nadiem Makarim, di pagelaran Belajaraya 2023, Pos Bloc, Jakarta Pusat, Sabtu (29/7).
Menanggapi itu, Prof Waras berpendapat, sistem zonasi sebenarnya bagus. Merupakan upaya terstruktur dan terpadu untuk memenuhi hak setiap warga negara mendapat pendidikan bermutu dan berkeadilan, sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Kemudian perlu direspon kebijakan-kebijakan pemerataan mutu pendidikan di daerah.
Misalnya, meratakan SDM bermutu, membangun jaringan belajar yg bisa medistribusikan para champion di sekolah menjadi milik semua, sehingga masyarakat merasakan sekolah di mana pun di daerah, mendapat akses sumber belajar yang sama mutunya.
Akselerasi pemerataan mutu pendidikan di daerah, menurut dia, harus dikejar dengan memberdayakan teknologi pendidikan. Pemda bisa prioritaskan belanja investasi teknologi pendidikan untuk pemerataan mutu pendidikan.
Dia juga mengatakan, zonasi banyak bertumpu pada pengaturan pemerintah daerah, baik provinsi maupun Pemkot/Pemkab. Dalam peraturan menteri (Permen) Dikbudristek 2021, banyak pasal yang pengaturannya diberikan kepada Pemda. Hal itu tidak salah, karena karakteristik dan sebaran sekolah tiap daerah berbeda.
“Sayangnya, Pemda memahami Permen PPDB hanya sebatas aturan yang harus ditindaklanjuti. Kurang memahami secara utuh misi utama dari sistem zonasi. Jadinya, implementasi Permen di daerah semrawut. Tidak sedikit yang mendefinisikan zonasi berdasarkan batas wilayah administratif,” katanya.
Ia mencontohkan anak-anak Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, akses terdekatnya dengan SMA-SMA Kota Malang atau Kota Batu. Tapi karena zonasinya didefinisikan wilayah administratif, mereka hanya bisa akses satu SMA terdekat di Kota Malang (lintas zona hanya boleh memilih satu sekolah).
Dua pilihan sekolah lainnya, SMAN Ngantang, SMAN Kasembon, dan SMAN Singosari, karena di Kecamatan Dau tidak ada SMAN. Jarak sekolah-sekolah itu lebih 10 km, sulit diakses sarana transportasi publik.
Pemberdayaan Sekolah Swasta
Selain itu, kata dia, pengawasannya juga tidak efektif. Praktik numpang ke kartu keluarga (KK) dekat sekolah yang diinginkan dibiarkan, malah diam-diam oknum sekolah yang memberi tips itu.
Kendala lain yang menyebabkan sistem zonasi yang sudah berumur 5 tahun tidak bisa berjalan efektif, antara lain lokasi sekolah tidak selalu menyebar. Kepadatan penduduk dan perkembangan pemukiman baru tidak selalu linier dengan keberadaan sekolah di zona itu, sehingga ada wilayah yang jumlah penduduknya banyak, tetapi tidak ada sekolah negeri.
“Setiap orang tua pasti mendambakan anaknya berada di sekolah bermutu, sehingga sekolah yang difavoritkan tetap menjadi pilihan. Akan tetapi ini akan teratasi jika Pemda mampu memeratakan mutu sekolah,” tegasnya.
Ketidakjujuran, memanipulasi data kependudukan (tempat tinggal) tidak perlu terjadi atau menjadi tidak relevan, jika Pemda mampu mendistribusi sumber belajar dan SDM bermutu ke semua sekolah.
“Terobosan cepatnya, optimalkan penggunaan teknologi pendidikan, bangun jaringan belajar yang mampu memeratakan akses mutu, menyerupai
block chain system,” katanya.
Dia juga mengatakan, pemberdayaan sekolah swasta juga harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Daya tampung SMAN tidak sebanding dengan lulusan SLTP.
Ada kesan, sekolah swasta sekarang makin dibiarkan dan tidak dianggap mitra pemerintah. Guru-guru swasta yg diangkat ke P3K tak perlu harus semuanya ditarik ke sekolah negeri.
BERITA TERKAIT: