Kemudian, tangannya yang lincah itu menabur bunga kecombrang dan irisan cabai merah, serta rempah-rempah lain di atas irisan dedaunan tersebut.
“Ini namanya Sambai Oen Peugaga (daun pegagan),†kata Masyidar kepada
Kantor Berita RMOLAceh, Sabtu (1/4). “Menu berbuka puasa saat Ramadhan.â€
Masyidar menjelaskan, Sambai Oen Peugaga berbahan dasar dedaunan yang diperoleh dari hutan. Meski demikian, Masyidar menjualnya dengan harga terjangkau. Yaitu, Rp 7 ribu saja per bungkus.
Sayangnya, kata Masyidar, kuliner khas Aceh ini kebanyakan diburu dari kalangan orang-orang tua.
“Kalau anak muda, jarang,†sebut dia.
Dia mengaku mendapatkan omzet Rp 2 juta per hari. Pendapatan ini jauh merosot ketika hari biasa.
Asal Mula Sambai Oen Peugaga Sejarawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid alias Cek Midi menjelaskan, dahulu masyarakat Aceh acap kali mengonsumsi lalapan yang menggunakan bahan dasar daun. Misalnya, Sambai Oen Peugaga.
"Orang Aceh mengatakan dengan Lambai yang didalamnya ada 44 daun tanaman termasuk On Peugaga," sebut Cek Midi.
Cek Midi menjelaskan, dedaunan tersebut dipetik pagi hari saat matahari mulai terbit di ufuk timur, dedaunan itu masih ada sisa embun.
"Kebiasaan dipetik sebelum matahari keluar, ini semua dilakukan untuk obat lambung," ujarnya.
Dulu, kata Cek Midi, proses mencari dan meracik Sambai Oen Peugaga ini sembari melantunkan doa-doa. Karena khasiat lalapan ini sangat bagus untuk kesehatan dan keselamatan.
"Kalau hampir selesai, dibaca doa-doa untuk yang memakannya. Itu dilakukan oleh nenek moyang kita dulu,†tuturnya.
Menurut Cek Midi, saat ini bahan dasar pembuatan Sambai Oen Peugaga sangat susah dicari. Kalau dulu, bahan-bahannya tersedia di mana-mana.
“Karena cukup banyak tumbuh di sekitar lingkungan,†tutupnya.
BERITA TERKAIT: