Pasalnya, aktivitas pengangkutan batubara tersebut masih melintasi jalan umum (jalan negara).
Dari kegiatan yang dilakukan perusahan angkutan batubara di Kabupaten Muratara itu membuat jalan negara menjadi rusak dan menimbulkan polusi yang banyak dikeluhkan masyarakat setempat karena banyaknya debu akibat aktivitas angkutan batubara tersebut.
Menurut Ilham, salah satu warga Desa Ketapat Bening, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Muratara, aktivitas angkutan pertambangan selalu menjadi keluhan warga. Karena besarnya muatan membuat jalan rusak dan menimbulkan debu.
"Ya seperti itulah kondisinya, apalagi kalau musim hujan jalanan seperti kubangan. Tapi kalah kemarau, debu sangat menganggu sekali. Siapa lagi kalau bukan angkutan batubara," kata Ilham diberitakan
Kantor Berita RMOLSumsel, Rabu (9/3).
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, MF Ridho, pihaknya sudah mendapatkan laporan masyarakat sekitar terkait aktivitas angkutan batubara yang beroperasi di Kabupaten Muratara.
"Sudah banyak keluhan dari masyarakat terkait jalan negara yang dilalui angkutan batubara, begitu juga rambu lalulintasnya memang kurang. Kita berharap pihak perusahaan bisa menyikapi hal tersebut," kata Ridho, Selasa (8/3).
Anggota DPRD dari Partai Demokrat Dapil Musi Rawas, Lubuklinggau dan Muratara ini mengatakan, perusahaan angkutan dinilai tidak memberikan kontribusi kepada daerah.
Bahkan menurut pengakuan masyarakat, banyak angkutan batubara yang tidak menggunakan plat BG.
"Saya bilang, provinsi dan kabupaten itu enggak dapat apa-apa, tapi buminya di pijak, buminya digali, masyarakat dapat debu. Nah ini mestinya mereka harus terketuk hatinya agar berkontribusi. Minimal kendaraan angkutannya sudah berplat BG, itu kan berpotensi menambah PAD," jelasnya.
"Daerah setahun sekali dapat bagi hasil dari pusat, itu pun tidak signifikan dari pendapatan negara di pusat dari aktivitas tambang itu, kalau ada sejumlah ratusan atau ribuan angkutan yang berplat BG itu berpotensi PAD," tutupnya.
BERITA TERKAIT: