Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro, Eddy Pratomo menyoroti point ke-9 pada "Joint Statement Between the People's Republic of China and the Republic of Indonesia on Advancing the Comprehensive Strategic Partnership and the China-Indonesia Community with a Shared Future" yang menyatakan bahwa kedua negara akan bersama-sama menciptakan lebih banyak titik terang dalam kerja sama maritim.
Di dalamnya dijelaskan bahwa kedua negara sepakat untuk bekerja sama dalam merespons overlapping claims atau wilayah yang disengketakan antara negara-negara di Laut China Selatan.
"Kedua belah pihak mencapai kesepahaman bersama yang penting tentang pengembangan bersama di berbagai bidang overlapping claims dan sepakat untuk membentuk Komite Pengarah Bersama Antar-Pemerintah untuk mengeksplorasi dan memajukan kerja sama yang relevan," bunyi kesepakatan tersebut.
Eddy menjelaskan bahwa selama ini Indonesia selalu konsisten untuk tidak menerima klaim Tiongkok pada “Nine dashed-lines” atau sembilan garis putus-putus yang tidak mempunyai legalitas dalam hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982 maupun hukum kebiasaan internasional.
Selain itu, Indonesia juga selalu tegas menyatakan tidak terlibat atau menjadi bagian dari negara-negara yang mengajukan sengketa di Laut China Selatan serta mendesak penyelesaian sengketa di kawasan tersebut sesuai dengan prinsip- prinsip hukum laut internasional.
Kendati demikian, menurut Eddy, kesepakatan antara Prabowo dan Xi baru-baru ini telah mengubah posisi tersebut. Indonesia jadi mengakui overlapping claims yang secara tidak langsung juga mengakui adanya klaim Tiongkok atas sembilan garis putus-putus di Laut China Selatan.
"Dengan adanya Joint Statement RI-Tiongkok ini maka sikap Indonesia mulai saat ini sudah mengakui adanya wilayah tumpang tindih (overlapping claims) yang secara juridis dapat dianggap sebagai pengakuan secara diam-diam klaim (tacit recognition) terhadap 9 dashed-lines oleh RRT (Republik Rakyat Tiongkok) atas Laut China Selatan khususnya Laut Natuna Utara," paparnya.
Eddy menjelaskan bahwa posisi ini bertentangan dengan Keputusan (Awards) dari Permanent Court of Arbitration (PCA) tentang Laut China Selatan 2016, dan semua dokumen yang dikeluarkan oleh ASEAN dan pernyataan- pernyataan bilateral Indonesia yang secara konsisten menegaskan komitmen Indonesia terhadap UNCLOS 1982 dalam berbagai forum internasional termasuk PBB.
Meskipun hanya berbentuk format joint statement atau MoU, posisi Indonesia yang baru ini merupakan tindakan unilateral yang bersifat mengikat, begitu pula dengan Tiongkok.
Menurut Eddy, konsekuensi dari pengakuan hak maritim Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, adalah ratifikasi Perjanjian RI-Vietnam tentang ZEE yang tidak bisa dilakukan tanpa melibatkan Beijing,
"Dokumen Joint Statement ini dapat digunakan oleh Tiongkok untuk melarang Indonesia meratifikasi perjanjian ini karena hak maritimnya telah diabaikan," jelas Eddy.
Selain itu, kata Eddy, posisi terbaru Indonesia terkait Laut China Selatan akan mengganggu konstelasi geopolitik di Kawasan. Joint Statement itu bisa digunakan Tiongkok untuk mendesak negara lain menerima klaim sembilan garis putus-putusnya.
"Keberhasilan Tiongkok memperoleh pengakuan dari Indonesia akan dikapitalisasi oleh Tiongkok untuk mendesak negara-negara lainnya agar menerima 9DL yang pada akhirnya akan memperlemah posisi ASEAN yang selama ini menolak klaim yang tidak sesuai dengan UNCLOS 1982," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: