Misalnya daerah penyangga, Kota Depok. Pemkot Depok dinilai kurang maksimal memeÂlihara 23 situ (danau). Banyak situ yang tidak dinormalisasi dan berkurang fungsinya bahkan beralih fungsi.
Padahal, jika 23 situ di DeÂpok dipelihara, maka air dari Bogor akan terhambat menuju Jakarta sehingga banjir dapat diminimalisir. Meskipun situ adalah kewenangan KemenÂterian PUPR, akan tetapi penÂgelolaannya tetap dilakukan pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkot Depok.
Pengamat Tata Kota UniÂversitas Trisakti Nirwono Joga mengingatkan, keberadaan situ saat ini beralih fungsi karena bermacam-macam modus.
"Modusnya, situ ini lama-laÂma dangkal. Kemudian menjadi tempat sampah. Lalu ditimbun, terus ada sertipikat tanah yang dimiliki pengembang. Kalau tidak waspada dan dipelihara, bisa habis ini," kata Nirwono dalam diskusi publik Menggugat Marginalisasi Ruang Terbuka Hijau Kota Depok di Pingset
Eco-resto and Coffee, Jalan Cipayung, Kota Depok.
Selain itu, Pemkot Depok dapat memenuhi target RTH secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Misalnya satu tahun menambah satu persen RTH. Program harus terukur dan transparan serta dapat ditelusuri luas lahan dan berapa dana yang dikucurkan.
"Sebenarnya yang paling muÂrah, ya menyiasati lahan tanpa pembebasan, mengoptimalkan keberadaan 23 situ tersisa di Depok ini. Manfaatkan lahan sekitarnya, dijadikan taman-taman. Manfaatkan bantaran sungai. Gunakan yang sudah ada," sarannya.
Koordinator Ruang Terbuka Hijau (RTH) Movement, Alfred Sitorus menyatakan, jika 23 situ di Depok dipelihara dengan baik, serapan air dapat optimal. "Depok harusnya bangga karena punya 23 situ penampung air. Dulu bisa memperlambat aliran air ke Jakarta. Harusnya dipeliÂhata. Saat ini sudah ada empat situ atau embung yang sudah teruruk," ujar Alfred.
Pemkot Depok, lanjut Alfred, jangan segan-segan meminta anggaran pemeliharaan situ ke Pemerintah Pusat. Pemkot harus menghitung keperluan anggaran secara detail, supaya dana yang diberikan PemerÂintah Pusat dapat digunakan dengan optimal.
Ditambahkan Alfred, pihaknya yang berkumpul dalam penggiat RTH Movement berencana menempuh jalur hukum keÂpada Pemkot Depok jika tak mampu memenuhi kewajiban menyediakan 30 persen RTH di wilayahnya.
Sebab, RTH di Depok sudah kritis karena menjamurnya pemÂbangunan fisik. "Kalau sampai deadlock terhadap tuntutan yang disampakaikan, kami akan melayangkan
citizen law suit," kata Alfred.
Dipaparkannya, Pemkot Depok baru menyediakan RTH 16,33 persen atau 3.271 hektar dari seharusnya 20.029 hektar. Untuk diketahui, angka 16 persen gabunÂgan RTH publik dari Pemkot dan RTH Privat dari warga.
Dia juga menyoroti RTH daerÂah di jalan dan trotoar di sepanÂjang Margonda yang menghilang serta diisinkannya pemotongan bambu di bantaran Sungai CiÂliwung. "Kami juga meminta Pemkot menelusuri pengembang gedung atau fasilitas komersial soal sudah terpenuhi atau tidak kewajiban penyediaan RTH di lingkungannya," ujarnya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Depok, Manto menyatakan, Pemkot sudah memetakan lahan RTH tersisa untuk memenuhi kewajibannya. Kini, lahan untuk RTH tersebut tinggal menunggu pembebasan termasuk kawasan sempadan, sungai sudah masuk jalur hijau Depok.
Sementara Wakil Wali Kota Depok, Pradi Supriatna menÂgungkapkan, masalah banjir di Depok harus diselesaikan bersama dengan pemerintah kota lainnya seperti dengan Bogor, Tangerang, Bekasi dan DKI Jakarta.
"Kami sudah cukup serius mengatasi persoalan banjir denÂgan rutin melakukan normalisasi saluran air, sungai-sungai dan juga situ-situ yang ada. Kami akan maksimal menjaga sungai dan situ," tandas Pradi. ***
BERITA TERKAIT: